Bab I Tesis


BAB I
KELAPARAN:
KONTEKS PERJAMUAN TERAKHIR

Oleh:
Ramli Sianturi


Istilah “lapar” secara khusus dihubungkan dengan elemen dasar dari kehidupan manusia, yakni makanan atau roti. Sifat esensial ini menegaskan bahwa tidak ada manusia yang dapat hidup tanpa roti atau makanan. Karena itu persoalan “lapar” bukan saja menyangkut penderitaan karena tidak mendapatkan atau memilki makanan, tetapi juga meliputi eksistensi manusia itu sendiri sebagai makhluk hidup dan beradab.[1] Dengan kata lain, “lapar” menunjuk kepada persoalan manusia yang seutuhnya. Dengan pengertian ini, persoalan “lapar” tidak hanya berbicara tentang kebutuhan fisik tetapi juga hak-hak dasar yang bertolak dari hakikatnya sebagai manusia, sebagaimana dikehendaki Allah pada waktu penciptaan.
Hak-hak ini meliputi hak untuk hidup bermartabat, hak untuk berkomunitas, hak untuk mengelola alam ciptaan dan hak untuk membangun masa depan tentunya dengan segala kewajiban asasi yang terkait.[2] Intinya, hak itu adalah hak untuk menerima atau mendapatkan dan hak untuk memberi atau terlibat berdasarkan kebebasan dan kewajiban yang dikaruniakan Allah kepada manusia itu semenjak ia diciptakan. Apabila hak-hak itu diabaikan dan ditindas, maka dengan sendirinya manusia itu mengalami penderitaan, yaitu “kelaparan” dalam arti yang luas, yang menyangkut kehidupan manusia seutuhnya.

A.                 “LAPAR”: SITUASI MASYARAKAT PADA ZAMAN YESUS
Pada zaman Yesus, peristiwa “kelaparan” akibat penindasan dan ketidakadilan, secara nyata dan mendalam, menimpa umat Yahudi, khususnya masyarakat bawah[3] yang mayoritas. Akar “kelaparan” ini dapat ditelusuri melalui empat bidang kehidupan, yakni politik, ekonomi, sosial dan keagamaan. Pada bagian ini penulis secara khusus menguraikan keempat bidang kehidupan tersebut guna menemukan akar-akar “kelaparan” dan persoalan dalam komunitas Yesus.
1.                   Politik
Pada zaman Yesus, ada tiga kekuatan politik yang berpengaruh dan menguasai pergerakan hidup bangsa Yahudi. Ketiga kekuatan ini memiliki hubungan yang kait mengait dan saling memberi pengaruh.
a.                   Yunani
Bangsa Yunani menguasai Paletina dari tahun 323-142 s.M[4]. pepimpin mereka yang terkenal adalah Alexander Agung. Di bawah pemimpinya bangsa Yunani mencapai puncak kejayaan; baik secara ekonomi, politik maupun terutama perluasan wilayah taklukan atau jajahan. Wilayah kekuasaanya mencakup sebagian besar daerah Timur Tengah hingga daerah-daerah Timur Jauh.[5] Namun setelah kematiannya, kekuasaan Yunani terbagi menjadi dua wilayah kekuasaan yaitu wilayah Antiokhia di Siria dan Alexandria di Mesir.[6] Wilayah Antiokhia meliputi Israel bagian utara yang dipimpin oleh Seleukid dan para penerusnya. Sedangkan Alexandria meliputi barat daya Palestina yang dipimpin oleh Ptolemei dan para penggantinya.
Dibandingkan dengan dinasti Seleukid, pemerintahan dinasti Ptolemei jauh lebih toleran terhadap bangsa yang didudukinya. Dinasti Ptolemei, misalnya tidak mencampuri atau terlalu mengatur urusan internal bangsa Yahudi; baik politik, ekonomi maupun agama. Urusan-urusan seperti itu diserahkan kepada para pemimpin Yahudi. Tapi sayang, dinasti ini berakhir pada tahun 198 s.M., saat seluruh Israel dikuasai oleh dinasti Seleukid.
Dinasti Seleukid memerintah secara keras dan ketat, apabila setelah Roma mengalahkan tentara mereka dan meminta upeti sebagai kewajiban taklukan. Dengan dalih ini dan dalam rangka memperkuat angkatan perangnya, dinasti Seleukid menerapkan pajak tinggi yang sangat memberatkan bangsa Israel. di samping itu, mereka juga menguasai tanah yang pernah dikuasai oleh dinasti Ptolemei. Terutama di bawah kekuasaan Antiokus IV Epifanes[7], bangsa Israel semakin tertindas. Selain penindasan politik dan ekonomi, mereka juga mengalami penindasan agama, di mana Epfanes menodai Bait Allah dengan mendirikan altar bagi dewa Zeus di ruang Mahasuci. Bagi orang Isrel Bait Allah adalah simbol kehidupan yang paling tinggi dan paling suci. Menodai Bait Allah sama saja menginjak-injak martabat kedirian orang-orang Israel dan menganggap mereka sebagai yang tidak ada atau bukan manusia. (inilah kekuatan terakhir dan terpenting dalam kehidupan Israel, yakni kekuatan religus). Akibatnya, seluruh Yudea di bawah pimpinn Yudas Makabeus (keluarga Hasmon) melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Seleukid, terutama altar Zeus, yang kemudian dikenal dengan Hanukah (Hari Raya Pentahiran Kembali). Selanjutnya, dinasti Seleukid memberikan kemerdekaan penuh kepada bangsa Israel dan memberikan “penghargaan” kepada keluarga Hasmon berupa posisi sebagai Imam Besar. dan semenjak saat itu keluarga Hasmon menjadi pemimpin politik bagi kaum Israel (tahun 142-63 s.M.).[8]
b.                   Dinasti Herodes
Dinasti ini dimulai dari Antipater[9], serorang menteri Hirkanusyang berpengaruh dan diberi kewarganegaraan oleh Roma. Karena pengaruhnya yang begitu kuat, dia menunjuk dua putranya, yaitu Fasael menjadi pnguasa di Yerusalem dan Herodes yang berkuasa di Galilea. Herodes, yang kemudia disebut Herodes Agung, adalah seorang pemimpin politik yang berhasil. Atas kelihaianya Roma merestui dia menjadi raja atas bangsa Yahudi. Selama pemerintahannya, Herodes melakukan banyak perbaikan, khususnya di bidang sosial ekonomi. Akan tetapi oleh karena perjalanan hidupnya yang penuh dengan intrik politik, akhirnya ia menjadi seorang yang kejam dan takut kehilangan kekuasaannya. Setiap ada gerakan atau gejala-gejala yang dianggap mempengaruhi kekuasaannya, dia tidak segan-segan membunuh dan membinasakannya. Bahkan ada dugaan anak-anak pun, ketika Yesus lahir, tidak luput dari kekejamannya.[10]
Setelah Herodes mati, Roma membagi kekuasaannya kepada ketiga anaknya, yakni Filipus, Herodes Antipas dan Arkelaus.[11] Filipus menguasai daerah yang membentang sampai timur laut Palestina kuno, yaitu Batania, Trakhonitis dan Auranitis. Filipus termasuk perkecualian yang baik dalam keluarga Herodes Agung. Dia memerintah rakyat dengan adil dan bijaksana.[12]
Herodes Antipas memerintah Galilea dan Perea, daerah bagian timur sungai Yordan, di mana Yesus biasanya mengajar. Dia menguasai hampir dua pertiga dari seluruh tanah, baik yang dibeli maupun yang dirampas. Akibatnya banyak petani yang tadinya pemilik tanah menjadi penggarap atau penyewa. Bahkan tidak jarang dari antara mereka ada yang menjadi buruh-buruh upahan yang gajinya seringkali tersendat-sendat pembayarannya. Selain itu, diamemperlakukan pajak lebih berat dari penguasa Roma. Diperkirakan bahwa orang Yahudi di Galilea membayar tiga puluh hingga empat puluh persen dari pendapatan mereka sebagai pajak pemerintah dan pajak agama. Dia jugalah yang memenggal kepala Yohanes Pembaptis oleh karena kritikan Yohanes atas perkawinannya dengan istri saudaranya. Di lain pihak, Yohanes Pembaptis, karena popularitasnya, dianggap membahayakan pemerintahannya,[13] bahkan Yesus menyebut dia sebagai “serigala”.[14]
Sementara Arkelaus, yang mendapatkan daerah yang sangat penting, yaitu Yudea, Samaria dan Idumea, tidak jauh beda dengan ayahnya. “Kecemburuannya pada semua orang yang dianggap pesaingnya dan pembalasanya yang tak kenal ampun merupakan buktinya.”[15]Bahkan sifat pemerintahannya yang tidak disukai orang, yaitu jahat, membuat Yusuf mengalihkan perjalanan pulangnya dari Mesir yang seyogianya ke Yerusalem menjadi ke Galilea (Matius 2:22).[16]
c.                   Roma
Sejak kemenangan Pompey pada tahun 63 s.M., Roma menyatakan Yudea sebagai wilayah kekuasaannya.[17] Mula-mula Roma menempatkan Herodes Agung dan keluarganay sebagai raja boneka yang memerintah Israel, namun kemudian diambil alih dan langsung di bawah kekuasaan seorang gubernur Romawi. Pada umumnya para gubernur ini tidak disukai, karena mereka suka mencampuri urusan keagamaan dengan menunjuk atau mengangkat seorang imam pilihan mereka. Salah seorang yang terkenal dalam cerita Injil adalah Pontius Pilatus. Dia adalah gubernur Yudea yang memutuskan hukuman mati (salib) kepada Yesus. Ia adalah seorang oportunis yang tidak berkarakter baik, bahkan dia sering melakukan pembunuhan secara sadis dan lalim. Dia sama sekali tidak menghormati adat istiadat dan agama Yahudi, bahkan dengan sengaja ia memerintahkan tentaranya meninggikan patung kaisar dan masuk Yerusalem. Ia juga merampok dan menyalah-gunakan uang Bait Allah untuk membuat saluran air semaunya dan menghina pemimpin-pemimpin Israel secara terang-terangan.[18]
Secara umum pemerintahan Roma tidak mengenal kebijakan membantu negara-negara yang dikuasainya, sebaliknya cenderung memeras dan mengisap rakyat demi kepentingan pemerintahan dan bagi keperluan angkataqn perangnya. Untuk tujuan ini Roma memberlakukan sistem pajak yang ketat dan detail. Sekurang-kurangnya ada tiga jenis pajak yang dikenakan Roma kepada Israel, yaitu pajak tanah yang dibayar dengan uang, pajak cacah jiwa yang dipungut dari siapapun selain anak dan yang sudah tua, dan pajak penjualan; baik pungutan tol maupun bea cukai. Beban ini semakin mencekik penduduk Israel karena sikap dan perilaku para pemungut pajak yang ditunjuk Roma yang memeras rakyat secara rakus dan kejam demi memperoleh laba sebanyak-banyaknya. Apbila rakyat tidak membayar pajak maka mereka akan langsung berhadapan dengan kekejaman tentara Roma dan penjara.[19]
Di samping itu, pemerintah Roma memberikan hadiah berupa jabatan gubernur kepada pemimpin politik atau militer yang setia kepada Roma, khususnya yang mampu mengumpulkan pajak yang banyak dan membela kepentingan politik Roma. Akibatnya banyak pemimpin Israel yang tergiur dan terlibat dalam praktik-praktik ketidak-adilan demi suatu jabatan dan kekayaan, tidak terkecuali pemimpin-pemimpin agama Yahudi.
 Dari kenyataan di atas dapat disimpulkan bahwa kekuatan-kekuatan politik yang menguasai dan memerintah Israel. baik kerajaan Yunani, dinasti Herodes maupun kekaisaran Roma, lebih mengedepankan kepentingan kekuasaan. Bahkan untuk tujuan ini pemimpin-pemimpin politik dari ketiga kekuatan ini tidak segan-segan mengorbankan rakyat.
2.                   Ekonomi
Umumnya penduduk Israel hidup dari pertanian dan mayoritas adalah petani.[20] Tetapi semenjak penguasaan Yunani di bawah pemerintahan Alexander Agung terbukalah suatu dunia perdagangan baru, yaitu teknik-teknik pertanian, pertambangan dan usaha-usaha perdagangan. Memang peranan industri ini belum seprti sekarang, karena semua dikerjakan oleh tenaga manusia. Tapi hasil-hasilnya telah menyebabkan lahirnya pasar-pasar yang menjanjanjikan keuntungan. Sistem barter yang selama ini dipakai dalam proses jual beli, kini digantikan dengan mata uang.[21] Selain itu, Roma membuat sistem jalan raya yang sangat luar biasa dengan membangun jalan rayanya selurus mungkin. Hal ini semakin mempermudah dan mempercepat lalu lintas perdagangan.[22]
Akibatnya lahirnya sistem perekonomian baru yang lebih berpihak kepada penguasa dan pemilik modal, terutama yang menguasai sumber-sumber ekonomi. Mereka ini dapat menggunakan kesempatan-kesempatan baru untuk mendapatkan keuntungan yang terbuka lebar, seperti para pedagang, pemilik toko, tuan-tuan tanah, para penguasa, bahkan keluarga-keluarga imam yang menguasai Bait Allah. kelompok inilah yang kemudian disebut golongan atas. Di tempat lain, sebagai akibat dari perkembangan ini, tenaga kerja mannusia pun semakin dibutuhkan, baik yang berkaitan dengan teknik, pembangunan, kesenian maupun kerajianan tangan. Kelompok ini digolongkan sebagi kelas menengah. Sementara kelas bawah, yang mayoritas, diisi oleh penduduk desa yang biasanya hidup hanya mengandalkan tanah. Kelompok ini disebut kaum miskin dan melarat. Kenyataan ini semakin diperparah oleh dua hal, yaitu sistem politik penjajah dan sistem pajak.[23] Konsep penjajah mengenai tanah adalah setiap tanah yang direbut dengan pedang menjadi milik pemenang. Dengan demikian kepemilikan tanah (kini) dikuasai oleh penjajah atau tuan-tuan tanah yang kepadanya penjajah itu menjual atau menyerahkannya. Di pihak lain, penduduk Isarel yang sebelumnya pemilik tanah menjadi penggarap-penggarap atau penyewa tanah dan buruh harian.
Demikian juga hal dengan sistem pajak yang membebani kehidupan ekonomi rakyat jelata. Ada dua jenis pajak yang harus dibayarkan oleh orang-orang Yahudi. Pertama, pajak untuk Bait Allah dan para imam. Kewajiban ini harus dilaksanakan sebgai tanda dan bukti bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi. Sedangkan yang kedua adalah pajak kepada pemerintah penjajah, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sekali lagi, kalau mereka tidak membayar pajak tersebut, mereka diperhadapkan kepada hukuman, penjara, akan diperjual-belikan, bahkan dijadiakan budak.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perekonomian yang terjadi pada masa Yesus adalah perekonomian yang didasarkan pada sistem politik tertentu yang berpihak kepada para penguasa dan pemilik modal (golongan atas) dan membuat mayoritas rakyat menjadi miskin dan melarat.
3.                   Sosial
Dunia sosial pada zaman Yesus dikuasai oleh sistem kekudusan atau ketahiran[24], yaitu sistem sosial yang diatur berdasarkan polaritas-polaritas kudus atau tercemar; suci atau najis. Penilaian ini berlaku bagi setiap orang bahkan juga tempat-tempat, benda-benda, waktu-waktu maupun kelompok-kelompo sosial. Sistem ini melahirkan sikap pertentangan antara dua kelompok atau pihak yang dipersepsikan sebagai yang tahir dan yang najis.
Di bidang ekonomi, orang kaya dipertentangkan dengan orang miskin yang melarat. Orang kaya dipersepsikan sebagai orang yang tahir, sedangkan orang miskin dipandang sebagai yang najis. Persepsi ini muncul dari hikmat populer, yang memandang kekayaan sebagai suatu berkat Allah: orang benar akan sejahtera. Dengan pengertian ini, orang miskin dipandang sebagai orang yang tidak benar. Kemiskinannya dilihat sebagai akibat dari keberdosaannya. Dengan demikian, dia (orang miskin) adalah najis.[25]
Di bidang agama orang yang menjalankan syairat-syairat keagamaan, khususnya para imam, kaum Farisi dan ahli-ahli Taurat, dipertentangkan dengan mereka yang sibuk dengan urusan duniawi dan yang bekerja dalam dunia pemerintahan, khususnya pemungut cukai. Kaum agamawan dilihat sebagai yang tahir, karena hidup di Bait Allah dan telah menjalankan hukum-hukum keagamaan yang ketat, sedangkan pemungut cukai diperlakukan sebagai orang berdosa. Para pemungut cukai disebut sebagai pemeras-pemeras rakyat dan juga kaki tangan penjajah atau pengkhianat-pengkhianat negara yang seharusnya dibinasakan. Dengan begitu hidup mereka penuh dengan kecemaran.
Di bidang kesehatan, orang sehat (utuh) dipandang sebgai yang tahir, sedangkan orang yang cacat atau orang sakit, khusunya yang sakit kusta dan pendaharan diperlakukan sebgai-orang-orang najis. Pemikiran ini bersumber dari pandangan bahwa kesehatan adalah anugerah Allah, sedangkan penyakit, khususnya penyakit kusta, kesurupan dan pendarahan, merupakan musuh manusia karena dianggap berasal dari setan. Kaum Yahudi cenderung memandang penyakit sebagai hukuman Tuhan. Hal sakit-penyakit seringkali dihubungkan dengan kesalahan atau dosa, entah dosa yang bersangkutan maupun dosa orang tua atau nenek moyang. Dengan demikian, orang sakit, khsusnya dengan kategori kusta, kesurupan, catat dan pendarahan, dipandang sebagai yang najis.
Menyangkut jender, kaum laki-laki dipandang sebagai yang tahir karena melambangkan Allah. sebagaimana paham Yahudi bahwa Allah diperlakukan sebagai yang laki-laki dengan segala kelebihan dan kuasanya. Berbeda dengan perempuan yang dipersepsikan menyimbolkan kelemahan dan kerendahan. Nilai perempuan sangat ditentukan dan tergantung pada laki-laki, khusunya ayahnya dan suaminya. Selain itu, dan yang terutama, kaum perempuan sangat dekat dengan darah, baik waktu melahirkan maupun pada saat menstuasi. Bagi orang Yahudi darah menunjuk kepada maut, sebab darah itulah yang mencemarkan hidup, sehingga harus ditebus dengan penumpahan darah agar dapat diselamatkan. Dengan pengertian ini kaum perempuan dipandang sebagai yang tercemar karena dekat dengan darah.[26]
Demikian juga dalam pergaulan di tengah masyarakat. Kaum Yahudi memandang dirinya sebagai yang benar dan kudus karena mereka adalah umat pilhan Allah. mereka secara eklusif meyakini bahwa Allah hanya milik mereka dan Allah hanya bertindak untuk mereka. Sementara bangsa lain adalah musuh dan akan dihukum oleh Allah untuk kepentingan mereka juga. Karena itu mereka tidak diperkenankan bersekutu bahkan bersentuhan dengan orang asing (bukan Yahudi) sebab dianggap kafir atau najis.[27]
Dari uraian di atas tampak jelas bahwa kehidupan sosial pada zaman Yesus tersusun dngan batas-batas sosial yang tajam, bahkan cenderung mematikan nilai-nilai kemanusiaan dan mengorbankan manusia itu sendiri demi tujuan ketahiran yang dilestarikan.
4.                   Keagamaan
Kehidupan agama pada masa Yesus dicirikan oleh tiga hal, yang semuanya melekat pada pemimpin-pemimpin agama, ahli-ahli Taurat dan kaum Farisi.
a.                   Penggembalaan diri sendiri
Dalam kisah Injil Yesus secara terang-terangan mengancam sikap para imam, ahli-ahli Taurat maupun Mahkamah Agama yang hanya memikirkan dan melayani kepentingannya sendiri. Mereka adalah pemimpin-pemimpin yang seharusnya menjadi pelindung dan penuntun umat, bukan sebaliknya malah menjadi penindas atau menjadi penjajah baru bagi umatnya sendiri. Keluarga-keluarga imam bagsawan, misalnya sangat menekankan persepuluhan dan pajak Bait Allah. selain itu, mereka menguasai perdagangan di Bait Allah yang membuat mereka sangat kaya, kontras dengan keadaan umat yang miskin dan melarat. Mereka bahkan tak segan-segan memanipulasi hukum demi tujuan mendapatkan uang yang banyak. Para imam, misalnya mengeluarkan fatwa bahwa setiap hasil bumi yang belum diberikan persepuluhannya kepada imam atau ke Bait Allah, maka hasil tersebut adalah najis.[28]
Di pihak lain, sebaliknya sebagai gembala seharusnya mereka melayani dan mengutamakan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi, namun sebaliknya yang terjadi adalah umat justru dipaksa melayani kepentingan mereka dengan pelayanan-pelayanan khusus. Mereka menganggap diri mereka sebagai golongan yang hebat dan terhormat. Dengan anggapan ini mereka suka duduk di tempat-tempat yang terhormat pula serta suka menerima penghormatan di mana saja mereka berada. Demi kehormatan dan status sosial ini mereka menciptakan dan mlestarikan sistem ketahiran sosial yang pada akhirnya melahirkan batas-batas sosial yang ketat dan tajam, seperti sudah dijelaskan di atas. Dengan kenyataan ini sesungguhnya mereka menindas umatnya sendiri, khususnya penindasan jiwa dan batin. Inilah gambaran yang disampaikan Injil bahwa unat Israel pada zaman Yesus adalah umat yang tanpa gembala.

b.                   Perkataan tanpa tindakan
Ciri yang kedua ini menegaskan agama sebagai kefasihan kata-kata saja, entah yang bersifat homiletik atau legalistik. Intinya agama tanpa perbuatan.[29] Para pemimpin lebih memperlihatkan nilai kata-kata dari pada tindakan atas kata-kata itu. Bait Allah ataupun sinagoge dimaknai hanya sebagai pusat pengajaran dan tempat ibadah, tanpa menghubungkannya dengan kebutuhan dasar manusia. Antara perkataan dan perbuatan tidak saling mengisi, sebaliknya saling bertentangan. Mereka belajar kehendak Allah dan mengajar umat tentang isi Alkitab, namun perbuatan mereka melawan kehendak Allah, bahkan cenderung menyesatkan. Mereka menyelidiki hukum Musa secara teliti, membuat peraturan-peraturan secara detail dan rumit, namun semua ini hanya ditujukan kepada umat, sementara mereka sendiri terbebas dari kuk tersebut.
Padahal sebagai pemimpin (para imam dan Makhamah Agama) atau pengajar (ahli Taurat) maupun yang menggeluti ajaran agama (kaum Farisi), merekalah yang seharusnya yang pertama-tama menghidupi ajaran-ajaran tersebut dan mempraktikkan, sehingga umat dapat melihat dan mengikutinya. Hal ini menjadi berbeda sekali dengan apa yang dilakukan Yesus. Yesus tidak hanya berkata-kata atau mengajar, tetapi justru melalui perilaku dan perbuatan-Nya, seluruh isi dan maksud pengajaran-Nya diterangkan dan diteguhkan: Ia melakukan penyembuhan terhadap orang yang sakit, menyentuh penderita kusta, mengusir roh jahat, bergaul dengan mereka yang dianggap najis dan tercemar, dan lain sebagainya.
c.                   Mengutamakan hukum dan mengesampingkan keadilan
Para pemimpin agama lebih memperhatikan dan mengutamakan hukum-hukum atau peraturan. Hukum-hukum ini menjangkau seluruh aspek kehidupan umat Israel, namun funsinya hanya menjadi alat untuk mengamankan kepentingan mereka dan membuat umat semakin tunduk kepada mereka.
Mereka lebih memusatkan diri pada harafiahnya hukum dan sangat menekankan perkara-perkara lahiriah, namun mengabaikan perkara yang sangat penting, yaitu kasih kepada Allah dan keadilan terhadap sesama manusia. Mereka hafal secara detail hukum, tetapi lalai terhadap keramah-tamahan dan kemurahan hati. Mereka lebih mengutamakan hukum haris sabat dari pada menolong orang yang berada dalam kesulitan atau bahaya. Dalam perumpamaan orang Samaria, kelompok ini lebih mengutamakan hukum ketahiran (=takut tercemar) dari pada menolong orang asing yang sedang sekarat. Di tempat lain, aturan atau tata cara pembasuhan tangan sebelum makan menjadi perhatian utama, sementara hati mereka penuh dengan kotoran atau kenajisan. Intinya, mereka memenuhi seteliti mungkin segala peraturan dan hukum agama, namun menutup diri kepada berita Kerajaan Allah.
Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa situasi keagamaan pada zaman Yesus berada pada situasi yang kritis. Lembaga keagamaan bahkan terlibat dalam penindasan umat lewat kemunafikan, kebutaan dan kesombongan. Hal ini semakin menambah penderitaan umat yang tanpa gembala.

B.                 KONTEKS PERJAMUAN TERAKHIR

1.                   Konteks Perjamuan
Di tengah kenyataan sosial “kelaparan”, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Yesus sering mengikuti undangan perjamuan. Dan tidak jarang pula Yesus menyelenggarakan perjamuan atau makan bersama dengan orang lain. Bila dikaji secara mendalam, tampak jelas bahwa Yesus sedang melakukan suatu hal yang baru melalui sesuatu yang lazim danbisa dilakukan serta dialami semua orang atau komunitas, yaitu perjamuan. Melalui perjamuan, baik yang diikuti maupun yang diselenggarakan oleh-Nya, Yesus hendak memberikan jawaban terhadap persoalan “kelaparan” yang dialami komunitas-Nya pada waktu itu.
a.                   Arti dan makna perjamuan
Perjamuan atau makan bersama, sebagai salah satu warisan budaya dari segala bangsa, selalu bertujuan untuk menciptakan dan mengekspresikan suatu kelompok manusia. Perjamuan, disma[ing mengandung simbol-simbol yang kompleks, juga merupakan bentuk utama dari budaya yang menginformasikan nilai-nilai yang sangat penting dari kelompok atau komunitas.[30] Perjamuan lazimnya terjadi dalam perayaan dan menempatkan perhatian utama pada partisipasi kelompok atau komunitas, di mana perayaan-perayaan itu dapat menguatkan setiap pribadi maupun komunitas untuk mengingat peristiwa-peristiwa khusus dan dapat menghidupkan terus-menerus makna dan nilai dari perayaan-perayaan yang dimaksud.[31]
Suatu jamuan makan tidak hanya menyangkut makanan saja, tetapi juga persiapan, proses, acara makan dan percakapan. Orang yang datang ke perjamuan bukan sekedar untuk mengisi perut, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa unsur kenyang termasuk hal penting dalam perjamuan. Namun demikian, perjamuan juga mengasumsikan aspek keagamaan, yakni ciri sakramental dan aspek sosial, yakni persaudaraan dan cinta kasih.[32] “Yang makan ialah keseluruhan jiwa raganya, dambaan dan cita-citanya. Keseluruhan pribadi dan riwayat hidup serta suasana jiwanya ikut makan dan memberi arti kepada makan.”[33]
Jadi, perjamuan atau makan bersama adalah sarana atau lambang yang paling mulia untuk menghayati dan mengekspresikan nilai-nilai kemanusiaan dan harapan-harapan tentang hidup.
b.                   Perjamuan dalam Alkitab
Dalam tradisi Alkitab, jamuan makan atau makan bersama sering dilakukan, baik dalam tradisi sosial (seperti: kelahiran, pernikahan, kemenangan atau keberhasila, ulang tahun, kematian, dll.), maupun dalam tradisi keagamaan. Perjamua biasanya menjadi bagian penutup dari upacara-upacara pengorbanan dan persembahan ritual yang melambangkan persekutuan dengan Yang Ilahi.[34] Perjamuan dihayati dan diselenggarakan sebagai upacara keagamaan sekaligus mengandung makna sosial, karena tidak hanya memberikan makanan bagi tubuh, tetapi juga bagi jiwa dan menyangkut orang lain. Melalui perjamuan, khususnya perjamuan keagamaan, umat Israel mengingat perjanjian Allah dengan mereka dan sekaligus diingatkan agar mereka menghidupi dan melaksanakan isi perjanjian tersebut. Dengan pengertian ini, perjamuan memainkan peran penting dalam menyatakan dan memateraikan hubungan Allah dengan umat-Nya yang kemudian diimplementasikan dalam hubungan antara satu dengan yang lain. “Perjamuan ini menegaskan tindakan Allah bagi kepentingan umat Israel dan mengingatkan mereka untuk melanjutkan berkat ilahi ini melalui ketaatan mereka pada kehendak-Nya.”[35]
Dalam Perjanjian Lama, perjamuan utama yang monumental adalah perjamuan Paskah(Keluaran 12). Perayaan ini, dikemudian hari, disatukan dengan Hari Roti Tidak Beragi.[36] (Lebih dalam mengenai Perjamuan ini akan dibahas kemudian).
Perayaan lain yang juga penting adalah perayaan Pentakosta (hari kelimapuluh setelah paskah dari Hari Roti Tidak Beragi), yakni perayaan musim panen yang kemudian hari dihubungkan dengan Perjanjian Sinai atau pemberian Hukum Taurat yang diikat dengan darah dan berlangsung dalam perjamuan di hadapan Allah (Keluaradn 24:1-11). Perjamuan itu merupakan perayaan persahabatan antara satu dengan yang lain dan dengan Allah sendiri.[37]
Perayaan Tahun Sabat, setiap tahun ketujuh, dirayakan dengan perjamuan. Perayaan ini adalah perayaan iman Israel bahwa Tanah adalah anugerah Allah kepada umat-Nya. Dalam konteks iman Israel, tanah, seperti manusia, adalah kudus. Karena itu, tanah juga harus mendapat perhatian, yakni diberi istirahat atau berhenti untuk beberapa waktu (Keluaran 16:5; Imam 25:4). Selain menyangkut kepentingan tanah, perayaan ini juga adalah untuk kepentingan manusia. Pada tahun ketujuh semua budak-budak Israel harus dibebaskan sebagai orang merdeka (Keluaran 21:2-6). Orang Israel harus membiarkan tanah begitu saja agar orang-orang miskin bahkan binatang-binatang dapat makan dengan bebas dari apa yang dihasilkan tanah (Keluaran 23:10-11; Imamat 25:6). Selanjutnya, orang Israel yang berpiutang harus mengadakan penghapusan hutang kepada sesamanya (Ulangan 15:1-6).[38]
Jadi, perayaan ini bertujuan untuk memperingati penciptaan dunia dan olehnya umat Isarel dipanggil untuk mempedulikan orang-orang miskin, para budak, dan orang asing melalui hasil ladang dan kebun anggur mereka sebagai tanggapan mereka terhadap karunia Allah.[39]
Perayaan tahun Yobel (= freedom, liberty), dirayakan setiap tahun kelima puluh dan merupakan penyelesaian dari seri tahun-tahun sabat. Kekhususan perayaan ini hanya tersedia dalam peraturan imam ( Imamat 25:8-55; 27:17-24).[40] Perayaan ini merupakan tahun atau perayaan pembebasan. Disebut perayaan pembebasan karena pada perayaan ini setiap harta milik maupun tanah yang dulunya dibeli atau dimiliki dengan cara apapun, harus dikembalikan kepada pemilik aslinya. Bahakan para budak pun harus dibebaskan menjadi manusia bebas dan bermartabat. [41]
Seperti pada Perjanjian Lama, Perjamuan dalam Perjanjian Baru juga berlangsung dalam ciri sosial maupun keagamaan. Namun perhatian difokuskan pada perjamuan yang diikuti dan diselenggarakan oleh Yesus bersama komunitasnya. Kitab Injil menginformasikan bahwa Yesus acapkali menghadiri undangan jamuan makan. Kehadiran Yesus dalam perjamuan-perjamuan sebagaimana dilaporkan oleh Injil, bukan hanya sekedar untuk mengisi perut atau menikmati lezatnya makanan. Lebih jauh dari itu, melalui konteks perjamuan atau makan bersama, Yesus sedang memperkenalkan dan membangun kehidupan dengan cara hidup yang baru, yakni hidup dalam kerajaan Allah. dalam kaitan dengan yang terakhir ini, perjamuan seringkali menjadi latar belakang pengajaran Yesus tentang hal-hal yang penting. Di tempat lain, Yesus, dengan sadar dan sengaja, menjadikan perjamuan sebagai konteks pewahyuan diri-Nya. Dengan demikian, perjamuan juga merupakan bagian penting dari pewartaan Yesus tentang Kerajaan Allah.[42]
Beberapa kisah perjamuan yang diikuti dan dikerjakan Yesus diuraikan secara singkat serta dengan arti dan maknanya.
Perjamuan di Kana (Yohanes 2:1-11). Perjamuan ini adalah perjamuan kawin yang berlansung di kota Kana. Yesus hadir bersama Maria ibu-Nya dan juga murid-murid-Nya. Pesta kawin menghadapi persoalan karena kehabisan anggur. Kemudian ibu Yesus memohon kepada Yesus untuk melakukan sesuatu. Ia pun membuat air menjadi anggur. Lebih dari itu, anngur yang ajaib ini adalah anggur yang lezat yang membuat para tamu bahkan tuan rumah sendiri terheran-heran karena kelezatannya. Makana Perjamuan Kawin ini adalah penyataan kemulian Kristus yang nampak dalam belas kasihan, kebaikan dan pengertian-Nya yang mendalam terhadap persoalan manusia lewat peristiwa tanda ajaib. Dalam peristiwa ini, Ia menolong dan menyelamatkan tuan rumah itu dari kejatuhan dan rasa malu.[43]
Perjamuan di Rumah Matius (Matius 9:9-13). Yesus memanggil Matius menjadi murid-Nya. Dan Matius menanggapinya dengan sepenuh hati. Karena sukacitanya atas panggilan dan perkenanan Yesus memanggilnya, ia menyelenggarakan perrjamuan bersama Yesus dengan mengundang para pemungut cukai dan orang-orang berdosa. Kehadiran Yesus dalam perjamuan ini mendapat kritikan tajam dari orang Farisi, tapi Yesus menjawab kritikan mereka dengan berkata: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit .......” Perjamuan ini menegaskan solidaritas Yesus dengan mereka yang ditolak dan dipinggirkan atau dianggap hina.[44] Hal ini merupakan ungkapan keterbukaan Yesus untuk menerima semua orang ke dalam Kerajaan Allah termasuk orang-orang yang bukan Yahudi.
Perjamuan di Rumah Pemimpin Farisi (Lukas 14:1-6). Perjamuan ini berlangsung di rumah salah seorang pemimpin dari orang-orang Farisi. Tiba-tiba seorang yang menderita penyakit busung lapar masuk ke tengah perjamuan dan berdiri di hadapan Yesus. Kemudian Yesus menyembuhkan orang tersebut. Peristiwa ini sungguh membuat ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi marah dan dongkol, karena hari itu adalah hari Sabat. Melalui kenyataan ini Yesus bukan saja memberi pengertian baru tentang hari Sabat, tetapi juga mengukuhkan hubungan antara perjamuan dengan penyembuhan atau pemulihan. Yang hendak dikatakan oleh perjamuan ini adalah agar orang yang makan tidak hanya memeikirkan dirinya sendiri tetapi juga memedulikan mereka yang hidup  dalam kekurangan, kesulitan, kesulitan dan kelaparan dalam berbagai bentuknya.[45]
2.                   Perayaan Paskah
Paskah adalah peristiwa keluaran orang Israel dari perbudakan Mesir. dalam peristiwa ini Allah bertindak sebagai Pembebas dan Penyelamat. Di satu sisi, Allah menghancurkan Mesir dengan membunuh setiap anak sulung dari keluarga Mesir dan melenyapkan tentara Mesir yang berusaha mengejar orang Israel untuk di bawa kembali ke Mesir. Di sisi lain, Allah mengeluarkan orang Israel dari penjajahan Mesir dan menuntun mereka menuju tanah perjanjian sebagai umat-Nya  dan bangsa yang merdeka.

a.                   Perayaan Paskah dan perkembangannya
Perayaan Paskah memiliki keterkaitan dengan Hari Roti Tidak Beragi. Memang keduanya pada dasarnya adalah dua perayaan yang terpisah,[46] namun tidak dibedakan secara tajam, karena kedua perayaan yang tersebut jatuh pada waktu yang bersamaan. Perayaan paskah jatuh pada hari keempatbelas bulan itu, di mana korban domba Paskah mengambil tempat, sementara Hari Roti Tidak Beragi dimulai pada hari setelah malam Paskah dan itu berlangsung selama tujuh hari. Namun di kemudian hari kedua perayaan itu disatukan, sehingga perjamuan Paskah itu sendiri adalah juga perjamuan Roti Tidak beragi (Keluaran 12:8; dan penyebutan “Paskah” digunakan juga untuk hari-hari perayaan Roti Tidak Beragi (Ulangan 16:1-8).
Peristiwa pembebasan (Paskah) berawal dari teriakan orang Israel karena penindasan dan penderitaan yang dilakukan oleh Mesir. Allah mendengar teriakan mereka karena mengingat perjanjian-Nya dengan nenek moyang mereka, yaitu Abraham, Ishak dan Yakub (Keluaran 2:24). Kemudian Allah mengutus Musa dan Harun kepada Firaun untuk menyampaiakan maksud dan tujuan Allah, agar Mesir membiarkan orang Israel pergi untuk beribadah kepada Tuhan Allah di padang gurun (Keluaran 5:1).[47] Namun Firaun menolak bahwa melawan Tuhan Allah dengan memperberat penindasan atas orang Israel. Atas perlakuan ini dan demi memenuhi janji-Nya kepada Abraham, Ishak dan Yakub, Allah melakukan pembebasan dan penyelamatan. Allah menyatakan kuasa dan keadilan-Nya. Pertama-tama, Allah menetapkan peraturan Paskah, lalu menyuruh Musa mempersiapkan orang Israel untuk pembebasan dan penyelamatan mereka (Keluaran 12-13).
Yang tampak adalah suasana perang: tegang, karena harapan untuk segera bebas begitu tinggi, namun masih harus menunggu; siap sedia, karena pembebasan akan segera dimulai; buru-buru, karena waktunya mendesak dan tidak ada waktu untuk yang lain. Dalam suasana inilah ibadah Perjamuan Paskah pertama kali dilakukan oleh orang Israel pada petang pembebebasan mereka dari perbudakan Mesir.
Pada waktu-waktu kemudian, perayaann Paskah mengalami perkembangan. Darah domba tidak lagi menjadi ciri kelepasan yang dioleskan di ambang pintu. Cara mengelola korban dan cara makan tidak lagi dibakar atau dipanggang, tetapi dimasak. Demikian pun dengan cara makan tidak lagi tergesa-gesa, tetapi lebih kepada suasana santai dan disertai percakapan-percakapan. Bahkan setelah pembaharuan raja Hizkia dan Yosia, perayaan Paskah sebagai upacara rumah tangga berubah menjadi perayaan kerajaan yang di pusatkan di Bait Allah di Yerusalem. Perayaan ini mengalami ketidak-jelasan, baik eksistensinya maupun pelaksanaannya, setelah Bait Allah di hancurkan dan bangsa Israel dibuang ke Babilonia. Kenyataan ini berlangsung sampai mereka keluar dari pembuangan (Keluaran kedua).[48]
Pada zaman Perjanjian Baru, setelah Bait Allah dibangun kembali dan hingga penghancurannya, perayaan Paskah adalah perayaan peziarah. Perayaan tetap diselenggarakan di Bait Allah di Yerusalem. Perayaan ini terdiri dari dua bagian. Pertama, ritual penyembelihan binatang korban Paskah di pelataran Bait Allah dengan menyiramkan darah korban ke atas altar Bait Allah oleh Imam. Binatang korban dapat dibeli di pusat perdagangan binatang dan tukar-menukar uang yang pada saat itu ditempatkan di pelataran Bait Allah, tempat di mana orang-orang non-Yahudi diberi ruang utuk beribadah (Matius 21:12). Yang kedua, adalah perjamuan makan yang diadaka di setiap rumah di Yerusalem. Kalau tuan rumah para peziarah yang hendak melaksanakan perjamuan Paskah tidak memilki rumah di Yerusalem, maka mereka boleh mengunakan “ruangan” (Markus 14:15).[49] Dalam perkembangan berikutnya, setelah Bait Allah dihancurkan pada tahun 70, perayaan paskah kembali menjadi perayaan rumah tangga tanpa korban anak domba.
Namun satu hal yang tetap adalah Paskah ini dirayakan setiap tahun secara turun- temurun untuk mengingat bahwa Tuhan Allah telah membebaskan dan menyelamatkan mereka dari perbudakan Mesir dan menjadikan mereka sebagai umat-Nya dan bangsa yang merdeka. Oleh perayaan ini mereka diyakinkan bahwa Tuhan Allah yang sama akan terus-menerus melepaskan mereka dari berbagai kekuatan yang membuat mereka menderita atau tertindas.
b.       Ritus perayaan Paskah dan unsur-unsurnya[50]
b.1. Ritual sebelum perjamuan
-         Pada pagi hari, setiap ragi harus dibuang, lalu kemudian sebagai penyelesaiannya dilaksanakan ritual pembakaran ragi oleh imam.
-         Sekitar pukul tiga sore, binatang korban paskah disembelih di Bait Allah oleh setiap orang yang memeprsembahkan korban, sementara beberapa imam menyanyikan Hallel
-         Setelah penyembelihan, para imam menyiramkan darah binatang korban ke atas altar besar lalu membakar lemak di atas altar. Ritual menyiram atau memercikkan darah ke atas altar besar adalah inti dari tindakan korban yang berfungsi sebagai ritus untuk melindungu atau pengganti untuk anak sulung.
b.2. Ritual Perjamuan
-         Setelah berkat, kepala keluarga atau tuan rumah membuak perjamuan dengan mengedarkan cawan anggur pertama yang disebut cawan kiddush, diikuti dengan menikmati hidangan pembuka berupa sayuran hijau, sayuran pahit dan sari/jus buah-buahan.
-         Paskah Hagadah,[51] setelah anak bungsu atau anggota yang paling muda bertanya tentang arti dari perayaan tersebut, kepala keluarga atau tuan rumah menjelaskan sejarah pembebasan Israel dari perbudakan di Mesir yang disimbolkan melalui jenis-jenis makanan yang ada di meja, kemudian seluruh hadirin  menyanyikan hallel bagian pertama (=Mazmur 113-114), dan beredarlah cawan anggur kedua yang disebut cawan hagadah.
-         Setelah berkat adalah jamuan utama yang terdiri dari daging anak domba Paskah, roti tidak beragi, sayuran pahit dan sari buah-buahan. Di sinilah perjamuan sebenarnya dimulai. Kepala keluarga mengambil roti dan mengucapkan berkat atasnya lalu membagikannya kepada setiap yang hadir. Kemudian cawan anggur ketiga, yang disebut cawan berkat, diedarkan.[52]
-         Sebagai penutup, seluruh yang hadir menyanyikan hallel bagian kedua (Mazmur 115-118), kemudian ditutup dengan peredaran cawan keempat yang disebut cawan hallel.
c.                   Makna perayaan Paskah
Perayaan Paskah merupakan perayaan tentang penyelamatan dan pembebasan Israel dan transformasi diri mereka menjadi umat kepunyaan Allah. paskah sebagai perayaan memiliki empat arti.[53] Yang pertama adalah pembebasan. Peristiwa Paskah adalah kisah di mana Allah membebaskan bangsa Israel dari penindasan Mesir. pembebasan ini adalah perwujudan dari kebenaran dan keadilan Allah. melalui peristiwa ini, dalam keyakian Israel, Allah adalah Allah Pembebas yang berpihak kepada orang-orang yang ditindas dan dipinggirkan secara sosial. Perayaan paskah mengingatkan bangsa Israel bahwa mereka dahulu adalah orang-orang yang pernah mengalami perbudakan di Mesir dan kemudian dibebaskan oleh Allah. karena itu, mereka tidak dibenarkan memperbudak dan menindas orang lain, sebaliknya mereka harus terlibat dalam pembebasan Allah bagi keadilan-Nya. Keadilan yang dimaksudkan di sini adalah usaha untuk memerdekakan orang dari setiap kuasa-kuasa yang menindas dan membelenggu, termasuk kuasa yang membuat ketergantungan antara yang satu kepada yang lainnya.
Yang kedua adalah hubungan. Peristiwa Paskah menegaskan tentang inisiatif Allah dalam melahirkan sebuah bangsa (dalam hal ini bangsa Isarel) kepada kehidupan yang baru. Isi kehidupan yang baru ini adalah suatu hubungan mereka dengan Allah, yakni hubungan antara mereka sebagai umat yang bebas maupun hubungan dengan generasi yang akan datang. Pengalaman ini merupakan yang pertama mereka alami sebagai umat yang disatukan di hadapan Allah. ini berarti seluruh umat Israel dapat dan seterusnya akan terlibat serta berpartisipasi dalam kehidupan mereka sebagai umat Allah. tidak ada yang terpingirkan atau dianggap tidak bernilai. Selain itu, hubungan baru ini mengikat mereka menjadi satu kesatuan dan saling mempedulikan satu dengan yang lain sebagai terjemahan dari “mereka makan daging domba bersama dengan yang lain”, dan bukan perjamuan pribadi (Keluaran 12:3-4).
Yang ketiga adalah pembaharuan. Selain domba paskah, umat Israel diharuskan membuang ragi dan diperintahkan makan ragi yang tidak beragi. Motif larangan dan perintah ini adalah pengudusan dan pembaharuan. Tafsiran yang dapat dikemukaklan terhadap hal ini adalah mereka diharuskan meninggalkan “Mesir”, yakni kehidupan yang lama dan prnuh dosa (sebagai arti lain dari membuang ragi), lalu kemudian mengenakan kehidupan baru, yaitu ketaatan dan kesetiaan pada Allah serta seluruh ketetapan-Nya. Umat Israel harus meninggalkan kehidupan yang lama seperti yang terjadi di Mesir. Mereka harus ikut serta dalam usaha Tuhan untuk keselamatan mereka dan melayani Dia menurut rencana dan ketetapan-Nya.[54]
Yang keempat adalah peringatan. Allah memerintahkan agar perayaan Paskah dirayakan sebagai peringatan(Keluaran 12:14). Arti Paskah sebagai peringatan menunjuk pada apa yang telah dilakukan Allah bagi umat Israel pada peristiwa pembebasan dari Mesir. implikasinya adalah umat Israel diharuskan memberlakukan arti dan makna Paskah, yaitu penyelamatan dan pembebasan dalam realitas hidup mereka. Perayaan Paskah menjadi sejati dan benar bila keajaiban Paskah diterjemahkan dan diaktualkan secara terus menerus ke dalam masa depan sebagai realitas hidup. Ini berarti bahwa umat Israel selaku Umat Allah harus membagi keajaiban ini dan membuatnya hidup bagi generasi yang akan datang.
Inilah ibadah atau perayaan Paskah bagi Tuhan Allah, tidak terkecuali Paskah yang dirayakan Yesus. Hanya saja pada Perjamuan Terakhir Yesus bersama murid-murid-Nya dalam rangka perayaan Paskah, Ia menafsirkan perjamuan Paskah dengan merujuk kepada diri-Nya sendiri, yakni seluruh hidup, penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya, tidak lagi mengarahkan perhatian ke masa lampau di Mesir. Dalam terang inilah Yesus disebut sebagai Anak Domba atau Domba Paskah Allah.

3.                   Penyucian Bait Allah
Kisah demonstrasi di Bait Allah secara serentak dicatat oleh keempat penulis kitab Injil. Keempat penulis Injil sepakat bahwa peristiwa ini terjadi setelah Yesus masuk ke Yerusalem dalam rangka mengikuti perayaan Paskah tahunan Yahudi dan sebelum Perjamuan Terakhir dilangsungkan (Matius 21: 12-17; Markus 11:15-19; Lukas 19: 45-48; Yohanes 2: 13-16). Peristiwa demontrasi di Bait Allah, dalam Injil Sinoptik, memiliki keterkaitan dengan peristiwa-peristiwa lain, seperti Yesus mengutuk pohon ara karena tidak menghasilkan buah (Matius 21: 18-22; Markus 11: 12-14. 20-26); perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur (Matius 21: 33-35; Markus 12 :1-12; Lukas 20: 9-19) yang dialamatkan kepada pemimpin-pemimpin agama Yahudi; percakapan Yesus dengan orang Saduki dan kaum Farisi, kemudian diikuti oleh celaan Yesus secara khusus kepada para ahli Tuarat (Matius 22,23; Markus 12; Lukas 20). Sementara dalam Injil Yohanes, peristiwa di Bait Allah diintegrasikan dengan perkataan Yesus tentangf penghancuran Bait Allah (2:19-22) yang dalam Injil Matius dam Markus ditempatkan pada saat Yesus di hadapan Mahkama Agama sebelum peristiwa penyaliban (Matius 26:61; Markus 14:58).
Istilah “penyucian” Bait Allah memiliki keterkaitan dengan persiapan paskah. Biasanya seminggu sebelum perayaan Paskah dilakukan ritus penyucian diri sebelum mengambil bagian dalam perayaan tersebut. Bagi mereka yang tidak menjadi suci di percik dengan air untuk pengudusnan dan itu di lakukan pada hria ketiga peristiwa penyucian diri sedang berlangsung. Namun demonstrasi di Bait Allah ini bukan untuk menyucikan Bait Allah.[55] tindakan ini lebih menjelaskan bahwa ritus pengudusan, seminggu sebelum perayaan paskah, dijadikan Yesus sebagai konteks dari tindakan-Nya  untuk menyampaikan maksud dan tujuan-Nya berkaitan dengan Bait Allah yang di dalamanya ( sistem korban )dilangsukangkan dan para Ima, bertindak sebagai pelayanan.
Demonstrasi ini adalah tindakan simbolik Yesus dengan Bait Allah dan nubuatan-Nya mengenai akhir dari Bait Allah, bukan permainan kekuasaan untuk mengambil alih Bait Allah.[56] Intinya, tindakan penyucian ini lebih menegaskan hubungan antara Yesus sebagai Mesias dan Bait Allah.
a.         Yesus mengkritik kultus di Bait Allah
Setelah Yesus menjungkir-balikan meja-bangku dan mengusir para pedagang dan pembeli yang ada di pelataran Bait Allah, Ia berkata: “Bukankah ada tertulis: Rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa? Tetapi kamu telah menjadikannya sarang pemyamun!” (Markus 11:17). Alamat dari penyataan ini adalah pemimpin agama, yakniimam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat (Markus 11:18). Di mana Yesus, merekalah yang menjadikan Bait Allah sarang penyamun dengan mengijinkan aktivitas perdagangan atau komersial di pelataran Bait Allah yang  seharusnya adalah tempat bagi orang-orang non-Yahudi untuk ikut beribadah di Bait Allah, sebagaimana di aatur dalam hukum.[57]Perkataan Yesus yang menyebutkan “Bait Allah sebagai rumah doa bagi segala bangsa”,  yang dikutip dari Yesaya 56:7 dan “sarang penyamun”, yang dikutip dari Yeremia 7:11, menjelaskan tindakan demonstrasi-Nya menentang penyalah-gunaan Bait Allah oleh pemimpin-pemimpin agama dan penyalah-gunaan panggilan mereka sebagai pelayan di Bait Allah, tetapi juga karena mereka mengubah pelataran Bait Allah sebagai tempat berbisnis (pasar) untuk mendapatkan keuntungan, terutama keuntungan finansial.[58] Keuntungan yang merekadapat tidak hanya dari “pajak” jual beli korban binatang, tetapi juga “komisi” dari transaksi tukar-menukar uang.[59]
Jadi, yang dicela dan diserang  oleh Yesus, melalui demonstrasi-Nya di Bait Allah, bukan praktik korban, tetapi lebih kepada sistem korban[60] yang telah terkontaminasi oleh keuntungan-keuntuangan ekonomi atau bisnis (profit).[61] Hal ini demikian Aulen menegaskan, merupakan pelangaran terhadap hukum kekudusan Bait Allah.[62] Selain mencela kepemimpinan Bait Allah dan penduniawian Bait Allah, Yesus juga memproklamasikan pemenuhan nubuatan Yesaya: bahwa orang-orang yang bukan Yahudi juga memiliki akses kepada Allah Israel.[63] Hal ini diperkuat perbuatan Yesus yang menyembuhkan mereka sebelumnya dibuang dari Bait Allah, yakni orang-orang buta dan orang-oragn timpang (Matius 21:14-17).[64]
Karena Bait Allah merupakan pusat kehidupan agama (ibadah), politik, sosial dan kepemimpinan Yahudi di bawah kekuasaan Roma, maka demonstrasi Yesus di Bait Allah dimaksudkan untuk melawan sistem kekuasaan politik maupun agama[65] yang tidak melayankan kehadiran dan kerahiman Allah bagi pembebasan, keselamatan dan kesejahteraan umat.[66]
b.    Akhir dari Bait Allah
Demonstrasi Yesus di Bait Allah, selain protes atau kritikan Yesus atau kultus Bait Allah, juga tindakan simbolik yang menubuatkan kehancuran atau berakhirnya Bait Allah dan digantikan dengan Bait Allah yang baru.[67] Penafsiran ini dikaitkan dengan tindakan Yesus yang mengutuk pohon ara (Matius dan Markus) dan nubuatan Yesus tentang kehancuran Bait Allah (Yohanes). Dalam Injil Sinoptik, pernyataan Yesus: “tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun” dan tindakan-Nya mengutuk pohon ara, demikian Matera menyebutkan, “mengindikasikan bahwa nasib Bait Allah telah dimeteraikan.”[68] Seperti pohon ara yang tidak berbuah, Bait Allah juga tidak menghasilkan buah, di mana setiap orang, termasuk orang-orang non-Yahudi, tidak dibawa atau dituntun kepada Allah untuk mengalami kerahiman-Nya yang membebaskan dan menyelamatkan (= rumah doa bagi segala bangsa). “Karena itu, seperti pohon ara yang dikutuk, demikian Bait Allah akan layu dan mati.”[69] Hal ini diperkuat, demikian Matera menambahkan, oleh “larangan” Yesus yang tidak memperbolehkan orang membawa barang-barang (anything = skeuos) melintasi Bait Allah (Markus 11:16), sebagai sesuatu yang mengindakasikan bahwa kultus di Bait Allah tiba pada akhirnya.[70]
Namun nubuatan penghancuran ini, bukan penolakan Allah terhadap umat Israel, tetapi lebih kepada pemimpin-pemimpin mereka yang menyalahkan fungsi atau peranan Bait Allah dan panggilan mereka sebagai pelayan-pelayan-Nya. Hal ini dipertegas kembali melalu perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur dak kritikan Yesus terhadap orang-orang Saduki, kaum Farisi dan para ahli Taurat.[71] Sementara dalam Injil Yohaens, terdapat dua ide yang berbeda dan dibawa ke dalam suatu harmoni. Ide pertama menyangktu Bait Allah yang aktual, yang secara absolut disebutkan dalam konteka, yakni Bait Allah yang di Yerusalem. Ide kedua adalah penafsiran penginjil tentang Bait Allah yang dirujuk kepada tubuh Kristus (2:21). Dasar harmoni ini adalah konsepsi tentang Bait Allah sebagai tempat atau tanda kehadiran Allah di antara umat-Nya. Bait Allah Yerusalem adalah tempat kehadiran Allah di mana umat Israel dan non-Yahudi dapat dijumpai-Nya, sedangkan di dalam diri Yesus Kristus kehadiran Allah secara penuh dinyatakan dengan sempurna dan setiap orang boleh melihat dan mengalaminya.
Lebih jauh Westcott menjelaskan:
Di satu sisi, penolakan dan kematian Kristus, dalam nama berdiam kepenuhan Allah, membawa bersamanya kehancuran Bait Allah [Yerusalem yang dibangun selama empat puluh tahun dan dihancurkan oleh Roma pada tahun 70 M]. Di paihak lain, kebangkitan Kristus, setelah tiga hari kematian, merupakan pembangunan kembali Bait Allah, restorasi yang menyeluruh dan sempurna dari tabernakel kehadiran Allah kepada manusia yang dihidupkan terus-menerus dalam gereja yang adalah Tubuh Kristus……….kebangkitan Kristus sesungguhnya adalah transfigurasi ibadah, sementara ibadah adalah transfigurasi Kehidupan.[72]
            Carson juga menyebutkan hal yang sama. Melalui penafsirannya atas Injil Yohanes, ia mengatakan bahwa tindakan Yesus menyucikan Bait Allah bertujuan untuk menyatakan bahwa Dialah pengganti Bait Allah dan pemenuh dari segenap tuntutan dan tujuannya.[73]Di tempat lain, Theissen-Merz menambahkan, nubuatan tentang kehancuran Bait Allah merupakan tafsiran atas tindakan simbolik Yesus, yang disebut ‘penyucian Bait Allah’, di mana isunya bukan mengenai pembaharuan Bait Allah pada waktu itu, melainkan berakhirnya Bait Allah bersama-sama dengan dunia yang fana ini.[74] Sedangkan pembangunan kembali Bait Allah yang baru, yang tidak dibangun dengan tangan manusia, adalah gereja atau komunitas Kristen, kepada siapa para penginjil mengalamatkan suratnya. Gereja, yang tidak lain adalah Tubuh Kristus, tidak hanya terdiri dari orang Yahudi, tetapi juga non-Yahudi, bahkan dari segala bangsa.[75]
c.       Hubungannya dengan Perjamuan Terakhir
Tindakan dan perkataan Yesus berkaitan dengan Bait Allah, yang bertujuan menantang secara fundamental kepemimpinan Yerusalem, membawa ingatan pada Perjamuan Terakhir.[76] Perihal demonstrasi Yesus di Bait Allah dan kaitannya dengan Perjamuan Terakhir, Dunn, dengan mengutip pendapat Theissen-Merz dan Chilton menjelaskan:
Dia [Yesus] memaksudkan bentrokan [demonstrasi di Bait Allah] bukan hanya dengan pemimpin-pemimpin Israel, tetapi juga dengan keseluruhan Bait Allah termasuk ibadahnya. Firman dan tindakan-Nya dalam Bait Allah mendeklarasikan akhir dari Bait Allah. Firman dan tindakan-Nya di ruangan atas [Perjamuan Terakhir] mendeklarasikan permulaan dari penggantian kultus atau Ibadah di Bait Allah, di mana roti menggantikan binatang korban, sebuah perjanjian baru tanpa korban……… sebab “tubuh” dan “darah” adalah istilah yang bertalian dengan hal berkorban dan mengindikasikan bahwa Perjamuan itu sendiri dipahami sebagai korban, yang sesungguhnya jauh lebih baik dari korban-korban yang sesungguhnya jauh lebih baik dari korban-korban yang dipersembahkan di Bait Allah Kayafas yang korup. Dengan kata lain, Yesus [dalam Perjamuan Terakhir] sedang menetapkan ibadah alternative; roti dan anggur menggantikan korban di Bait Allah.[77]
Jadi, demonstrasi di Bait Allah, yang mengkritik Bait Allah secara teologis; baik tindakan melawan ibadah Bait Allah maupun nubuatan tentang kejatuhannya, menjadi konteks Perjamuan Terakhir. Perjamuan Terakhir sebagai ibadah alternatif, ibadah yang baru, merupakan suatu ikrar tentang makan dan minum dalam Kerajaan Allah yang segera datang. Ibadah alternatif, yang disimbolkan melalui Perjamuan makan yang sederhana ini, bukan hanya sebagai pengganti ibadah di Bait Allah, tetapi merupakan penafsiran Yesus tentang kematian-Nya sebelum peristiwa penyaliban dan kematian itu terjadi. Dengan konteks ini, Yesus memahami kematian-Nya sebagai suatu korban.[78]
Selanjutnya, Perjamuan Terakhir sebagai ibadah baru yang menggantikan Bait Allah, demikian Chilton menegaskan, sebagaimana dikutip oleh Dunn, “harus merenspon perkataan “tubuh-Ku” dan “darah-Ku” ke dalam ide roti sebagai tubuh Yesus (sebagai pengganti dari daging binatang korban) dan anggur sebagai darah Yesus (sebagai pengganti darah binatang korban).”[79] Namun, demikian Dunn menyimpulkan, “hubungan yang sesungguhnya di antara Perjamuan Terakhir dan protes Yesus terhadap Bait Allah diperoleh dengan memahami hubungan antara Perjamuan Terakhir dan kematian Yesus.”[80]
C.     ROTI DAN KELAPARAN
Dalam Akitab, khususnya dalam konteks pengajaran Yesus, roti atau makanan selalu dihubungkan dengan kelaparan manusia dalam arti luas. Roti tidak hanya merujuk pada kehidupan jasmani saj, tetapi juga kehidupan rohani. Artinya, roti tidak hanya mengisi perut atau memenuhi, kelaparan secara fisik, tetapi juga menyangkut kebutuhan-kebutuhan hidup manusia yang mendasar. Roti berkaitan denga Allah dan manusia. Di sinilah hubungan ibadah dengan roti.
Untuk menjelaskan maksud ini, penulis menganalisa dua topik penting yang diajarkan oleh Yesus, yakni Doa Bapa Kami, khususnya permohonan: Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya, dan kisah pemberian makan 5000 orang.
1.       Berdasarkan kami pada hari ini makanan yang yang secukupnya (Matius 6:11)
a.       Doa Bapa Kami
Permohonan, Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya, adalah permohonan keempat yang terdapat dalam Doa Bapa Kami, yang diajarkan oleh Yesus kepada murid-murid-Nya. Doa ini adalah doa yang sangat popular dan umum dikenal serta dipraktikkan oleh gereja. Hamir di setiap ibadah, khususnya ibadah Minggu, doa ini selalu diucapkan. Berbagai penafsiran tentang doa ini telah dilakukan. Gerald Herd menafsirkannya sebagai doa yang paling sederhana namun mengandung pengakuan iman yang sempurna tentang Kristus.[81]G.A. Studdert Kennedy melihatnya sebagai doa tentang kepedulian Allah terhadap persoalan manusia.[82] Sementara Agus Suryana dan I. Suharyo menyebutnya sebagai doa permohonan akan kedatangan Kerajaan Allah di dunia ini.[83] Dan Leonardo Boff menyebutnya sebagai doa tentang pembebasan manusia yang seutuhnya.[84]
Bila diperhatikan secara seksama, Doa Bapa Kami menampilkan dua keprihatinan dalam dua arah gerak yang bersinergi, yaitu keprihatinan Allah dan keprihatinan Allah, yakni kekudusan nama-Nya, kerajaan-Nya dan kehendak-Nya. Yang kedua, Allah tertarik bahkan peduli akan kebutuhan-kebutuhan dan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh manusia. Namun hal ini tidak berarti bahwa ketika manusia memperhatikan kepentingan Allah, maka Allah akan memedulikan persoalan-persoalan manusia. tetapi yang mau dikatakan adalah bahwa Allah tidak hanya memperhatikan kepentingan-Nya, tetapi juga pergumulan dan persoalan manusia, yakni roti, pengampunan, pencobaan dan kejahatan. Allah di dalam Yesus Kristus telah mengerjakan semuanya sehingga isi doa adalah kebenaran Allah dan kerahiman-Nya. Karena itu, manusia dipanggil untuk mengalami dan menghidupi kasih karunia Allah ini, yang olehnya manusia itu dimampukan untuk mengalami dan menghidupi kemanusiaannya yang benar.
Doa Bapa Kami secara tegas menyatakan hubungan antara Allah dan manusia di dalam Yesus Kristus yang mewujud dalam kehadiran Kerajaan Allah di tengah dunia. Teologi yang paling mendasar dari doa ini adalah perjuangan bagi hadirnya Kerajaan Allah di tengah dunia ini. Hal yang terakhir ini mengisyaratkan adanya konflik atau masalah, yakni pertentangan antara Kerajaan Allah dan kerajaaan setan. Kerajaan Allah ditandai dengan kasih, keadilan dan damai sejatera. Sebaliknya kerajaan setan ditandai dengan kebenciaan, ketidak-adilan, penghancuran dan segala bentuk kejahatan.
Di pihak lain, dunia di mana manusia hidup, khususnya pada zaman Yesus, dikuasai oleh kekuatan-kekuatan jahat yang mengambil wujud dalam dua otoritas kehidupan, yakni otoritas politik dan otoritas keagamaan yang mengakibatkan kesengsaraan dan penindasan bangsa Israel.[85]Karena itu, doa ini, dalam konteks Yesus pada waktu ini, pertama-tama adalah doa tentang pembebasan manusia seutuhnya di segala abad dan tempat. Namun pembebasan ini dilakukan dalam rangka menegakkan Kerajaan Allah, yakni menciptakan suatu masyarakat di mana kehendak Allah, sebagai Allah yang meraja atau memerintah, diberlakukan dan setiap orang dapat hidup serta mengalami hidupnya sebagai manusia yang utuh dan beradab.
a.       “Berikanlah!”
Permohonan: “Berikanlah!”, menjelaskan dua hal, yaitu pengakuan bahwa Allah adalah sumber kehidupan dan pemilik alam semesta. Dialah sumber makanan atau segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia, bahkan seluruh ciptaan. Dialah Khalik langit dan bumi, Penopang dan Pemelihara segala yang ada. Yang kedua, Allah sendirilah yang memberikan roti dan makanan. Namun pemberiaan ini tidak turun dari langit begitu saja, melainkan melibatkan pekerjaan manusia dalam dua segi.[86] Di satu pihak, permohonan ini mensyaratkan kerja keras dan kesetiaan manusia untuk mengusahakan dan mengelolah apa yang telah disediakan oleh Allah dengan mengacu kepada maksud dan tujuan-Nya. Di pihak lain, permohonan ini juga mengharuskan manusia untuk berbagi dengan mreka yang tidak mampu dan tidak punya sebagai bentuk tanggapan terhadap Allah yang memberi. Dengan ini, kerja bukan lagi kutukan, melainkan panggilan Allah untuk melibatkan manusia dalam maksud dan rencana-Nya. Selanjutnya, kerja juga melibatkan kepentingan atau kebutuhan mereka yang tidak memilki atau tidak mampu, terrutama yang diakibatkan oleh ketidak-adilan dan karena terbatasan manusianya. Karena itu, yang menjadi isi kerja keras dan kestiaan manusia dalam mengusahakan dan mengelolah kebutuhannya adalah kehendak dan tujuan Allah.
b.       “Roti atau Makanan”
Dalam konteks murid-murid Yesus, Roti adalah makanan jasmaniah yang membuat manusia hidup. Namun berbagai pendapat timbul berkaitan dengan roti atau makanan pada permohonan ini. F. X. Agus-I. Suharyo dan Abineno menyebutkan bahwa Roti atau makanan sehari-hari ini merupakan lambang dan sekaligus partisipasi dalam Kerajaan Allah yang sedang berjalan menuu kepenuhannya dan yang akan kita warisi kelak.[87] Boff menafsirkan Roti ini sebagai simbol dari keseluruhan makanan atau kebutuhan yang diperlukan oleh manusia, di mana manusia tidak dapat hidup tanpanya. Roti itu adalah makanan supaya manusia hidup.[88] Sementara Heard mengaitkan hal ini dengan permohonan: Jadilah Kehendak-Mu!, dengan meminjam pernyataan Yesus yang terdapat dalam Injil Yohanes: “Makanan-Ku adalah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku.” Heard menghubungkan roti dangan melakukan kehendak Allah. Karena itu, menurut Heard, roti adalah melakukan kehendak Allah dengan menjadi bagian dari kehidupan-Nya.[89] Lebih jauh dari itu, Kennedy menyebutkan Roti sebagai sakramen kesatuan manusia di dalam Allah. roti menunjuk pada realitas Allah, yang adalah Kasih, yang menjadikan kita satu dengan Dia dan membuat kita satu dengan yang lain dalam kerajaan-Nya.[90]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa roti bukan hanya terbatas pada keperluan mengisi perut, tetapi juga menyangkut seluruh bentuk kelaparan yang dialami oleh manusia; baik fisik, jiwa maupun rohnya. Tegasnya, roti dihubungkan dengan eksistensi manusia dengan segala dimensi yang dimilikinya sebagai makhluk ciptaan Allah dan juga menyangkut Allah serta kerajaan-Nya.
c.       “Kami”
Kata “kami” menjelaskan tentang ikatan kemanusiaan sebagai keluarga manusia atau menyangkut seluruh manusia, siapa pun, kapan pun dan dimana pun.[91] Artinya, roti dihubungkan dengan orang lain bukan hanya untuk diri sendiri. Hal ini terjadi karena sumber dari apa yang manusi abutuhkan, yang disimbolkan lewat roti, adalah satu, yaitu Allah. dalam arti yang universal, Dialah Bapa dari segenap manusia, bahkan seluruh ciptaan, walaupun dalam arti khusus Dia adalah Bapa bagi mereka yang melakukan kehendak-Nya. Karena itu, apabila roti dimaknai hanya untuk diri sendiri (egoistis), maka ia mengingkari kebenaran bahwa Allah adalah Pencipta langit dan bumi yang menopang dan memelihara segala sesuatu yang ada. “Roti barulah manusiawi, kalau ia dibagi-bagikan kepada orang lain dan kalau ia berfungsi sebagai tali pengikat persaudaraan.”[92] Rahasia kebahagian manusia terletak pada kesediaan dan kemauannya untuk berbagi roti dengan orang lain, yakni roti kemanusiaan.[93] Jadi, sebutan “kami” dalam permohonan ini menjelaskan tentang persekutuan seluruh umat manusia tanpa membedakan siapa dan dari mana dengan hidup saling berbagi.
d.       “Pada hari ini......yang secukupnya”.
Konsep yang menjelaskan tentang karakteristik waktu dari permohonan. Waktu permohonan ini adalah hari ini, saat ini. Waktu hari ini menjelaskan dua hal, yakni signifikansi dan kontinutas. Signifikansinya adalah kubutuhan yang mendesak segera. Hari ini, bukan besok atau lusa. Sementara kontinutasnya adalah tidak berhenti pada saat ini, sebab waktu hari ini selalu ada dan terjadi di sepanjang waktu sampai waktu itu tiba pada ketiadaannya. Hal ini berarti waktu hari ini menyangkut hari esok, lusa dan hari yang akan datang. Dalam terang inilah dapat dimengerti bahwa waktu hari ini berkaitan dengan waktu yang kekal (eskatologis), yakni perjamuaan Agung dalam Kerajaan Allah pada akhir zaman.[94] Pengertiaan ini menegaskan panggilan dan kerja keras manusia yang terus-menerus tentang roti yang manusiawi hingga pemenuhannya dalam perjamuaan di Kerajaan Allah.
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa pemikiran sebagai berikut:
Pertama, permohonan ini berkaitan langsung dengan kebutuhan hidup dasar manusia.
Kedua, permohonan ini menyangkut manusia secara universal, yakni kesatuan manusia di hadapan Allah.
Ketiga, permohonan ini menegaskan sifatnya yang mendesak dan segera untuk diwujudkan.
Keempat, permohonan ini kait mengait dengan Perjamuan Agung di Kerajaan Allah yang akan datang.
Karena doa, khususnya Doa Bapa Kami, adalah salah satu unsur penting ibadah, maka bertolak dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa ibadah ritual tidak lepas dari pergumulan manusia di tengah masyarakat.
1.       Kisah pemberiaan makan 5000 orang (Markus 6:30-44)
Kisah ini merupakan peristiwa yang dicatat oleh keempat penulis Injil. Ini membuktikan bahwa kisah ini merupakan hal yang penting. Keempat penulis Injil melaporkan pemberiaan makan sebagai ajaib. Namun yang menjadi pokok utama dalam peristiwa ini adalah belas kasihan Yesus yang dijadikan nyata atau dibuat kelihatan. Tujuan Yesus melakukan peristiwa keajaiban ini adalah untuk menyatakan diri-Nya sebagai seorang yang berasal dari Tuhan atau yang diutus oleh Tuhan seperti Musa, namun Ia melebihi Musa yang memberikan manna di padang gurun ketika nenek moyang orang Israel keluar dari Mesir.
a.       Pembagiaanya
Kisah ini merupakan bagian mujizat-mujizat dan pengajaran Yesus di Galilea. Kisah ini dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu:
a.1. Kembalinya murid-murid (30-34)
setelah memberitakan Injil murid-murid melaporkan hasil pelayanan mereka kepada Yesus, namun tidak menjelaskan apa isi laporan tersebut. Melihat murid-murid-Nya kelelahan, Yesus mengajak mereka ke suatu tempat yang lebih sunyi dan tenang untuk beristirahat dan sekaligus berefleksi. Ketika mereka berangkat dengan naik perahu, ada banyak orang melihat mereka dan kemudiaan mengikuti mereka dengan berjalan kaki. Orang banyak itu tahu persis kemana Yesus dan murid-murid-Nya akan pergi sehingga mereka memotong jalan dan tiba lebih dulu. Melihat kerumun orang banyak yang tanpa gembala itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan. Lalu ia mengajar mereka tentang banyak hal. Di sini pun Markus tidak menyebutkan apa isi pengajaran itu.
a.2. Pemberiaan makan (35-44)
Setelah pengajaran, murid-murid memberitahukan kepada Yesus bahwa hari ini sudah petang dan orang banyak itu perlu makan. Yesus memerintahkan agar mereka memberi orang banyak itu makan. Sampai pada bagian ini murid-murid belum mengerti apa yang dimaksudkan Yesus. Namun demikian, Yesus terus membimbing mereka lewat dialog dan murid-murid dengan setia menaggapi perkataan Yesus serta melakukannya. Pokok pembicaraan Yesus dengan murid-murid adalah soal makanan untuk orang banyak. Kemudiaan, atas perintah Yesus, murid-murid mencari makanan dan mereka menemukan lim aketul roti dan dua ekor ikan. Selanjutnya Yesus memerintahkan murid-murid untuk membagi orang banyak itu ke dalam kelompok-kelompok, yaitu kelompok seratus dan kelompok lima puluh. Tidak dijelaskan di mana posisi Yesus dalam kelompok-kelompok tersebut; apakah Yesus berdiri di tengah atau berhadapan dengan mereka. Setelah itu, Yesus mengambil lima roti ketul roti, lalu menengadah ke langit dan mengucapkan berkat, kemudian Ia memecahkan roti itu dan memberikan roti yang sudah dipecahkan itu kepada murid-murid agar dibagikan kepada orang banyak. Demikian pun dilakukan terhadap dua ekor ikan. Semua mereka makan dengan kenyang bahkan ada sisa dua belas bakul, padahal orang banyak yang makan itu berjumlah lima ribu orang.

b.       Apa arti dan maknanya?
Tentang hakikat dan makna peristiwa ini, para ahli memilki pandangan yang beragam. Untuk mengetahui pandangan mereka sekaligus memperkaya pengertian tentang arti peristiwa tersebut, penulis memaparkan beberapa pandangan mereka.
K. Riedel[95] menyebutkan tiga hal, yakni: Pertama, pemberiaan makan ini dihubungkan dengan Doa Bapa Kami: Berikanlah kami pad ahari ni makanan kami yang secukupnya. Meskipun manusia tidak hidup hanya dari roti saja, demikian Ia menjelaskan, melainkan terutama dari firman Allah, namun manusia tidak dapat hidup tanpa roti, sebab tubuh manusia sangat membutuhkan makanan. Hal ini menegaskan hubungan yang akrab antara Allah dan manusia. Allah yang membuat tuuh manusia dan Allah juga yang menyediakan makanan. Kedua, pemberiaan makan ini merupakan antisipasi terhadapa Perjamuan Tuhan yang ditetapkan Yesus dalam kehidupan gereja purba.
John Hargraves merujuk pemberiaan makan ini kepada perjamuan Tuhan pada malam sebelum kematiaan-Nya dan seluruh pelayanan Perjamuan Tuhan yang dikerjakan oleh gereja. Melalui peistiwa ini, demikian ia menambahkan, kita diingatkan bahwa Perjamuan Tuhan adalah waktu atau saat menantikan datangnya kesempurnaan Kerajaan Allah.[96] Hal yang sama dilakukan D.E. Nineham. Ia mengatakan bahwa kisah ini ditafsirkan sebagai antisipasi terhadap Perjamuan Kekal dan Perjamuan Tuhan. Tanpa ragu, demikian ia berpendapat, kisah pemberian makan ini tetap diceritakan ketika komunitas-komunitas kecil bertemu untuk merayakan Perjamuan Tuhan.[97] Hamper sama dengan Riedel, Morna D. Hooker merujuk kisah ini kepada Perjamuan Mesianik dan Perjamuan Tuhan. Hanya saja Hooker menyebutkan Pemberian Makan oleh Elisa (2 Raja-raja 4:42-44) sebagai yang pararel dengan kisah Allah memberikan manna kepada bangsa Israel di Padan gurun (Keluaran 16) sebagai latar belakang yang sangat penting dari kisah Markus.[98]
Berbeda dengan para ahli yang telah disebutkan di atas, Eduard Schweizer menafsirkan kisah ini sebagai kiasan atau ibarat terhadap Perjamuan Tuhan. Ia menyebutkan bahwa ayat 41 yang berbicara tentang “Yesus mengambil roti dan ikan dan membagikannya di antara mereka” tidak secara pasti dihubungkan dengan pasal 8:6 dan 14:22. Yang lebih mungkin, demikian ia menyimpulkan, adalah asosiasi terhadap Perjamuan Tuhan muncul sebelum Markus.[99]
 Lebih jauh Ched Myres menghubungkan kisah ini dengan ideology sosial ekonomi dengan mengutip dua kiasan Perjanjian Lama, yaitu kisah pemberian manna kepada bangsa Israel di padang gurun dan kisah Elisa yang memberikan makan seratus orang. Menurut Meyers, kedua kisah tersebut kait-mengait dengan masalah kelaparan (sosial ekonomi), sedangkan kiasan “domba tanpa gembala” memiliki dimensi politik, yakni suatu kritik terhadap para pemimpin, termasuk pemimpin bangsa yang tidak menjadi “gembala.”[100]
Dari pendapat para ahli di atas dapat ditarik tiga penekanan penting berkaitan dengan arti dan makna pemberian makan ini, yakni:
-    Peristiwa ini merupakan antisipasi Perjamuan Tuhan.
-    Peristiwa ini memiliki hubungan dengan Perjamuan Mesianik.
-    Pemberian makan ini dihubungkab secara erat dan nyata dengan kebutuhan hidup dasar manusia.
c.       Analisa liturgis
            Kisah pemberian makan ini, bila diperhatikan dengan seksama, terkesan adanya usaha Markus untuk menceritakan kisah ini dalam perspektif ibadah sebagaimana tampak dalam ciri dan pola liturgi yang diperlihatkan di dalamnya.
c.1. Ibadah Retreat (30-32)
Setelah murid-murid kembali dari pekabaran Injil, Yesus mengajak mereka ke suatu tempat yang sunyi untuk mengasingkan diri dan beristirahat. Tempat yang sunyi menunjuk kepada suatu tempat yang jauh dari keramaian. Markus tidak menyebutkan nama tempat tersebut. Beberapa penafsir menyebut “tempat yang sunyi” ini adalah padang rumput (disert, wilderness).[101]Padang rumput adalah suatu tempat yang ideal dan tepat untuk sebuah pengasingan diri. Pengasingan diri dengan beristirahat sejenak dari kesibukan sehari-hari bertujuan untuk pemulihan atau penyegaran jiwa guna mendapatkan kekuatan baru dan kedamaian. Peristiwa ini kemudian hari lebih dikenal dengan istilah retreat. “Dari Waktu ke waktu orang Kristen membutuhkan suatu tempat yang sepi dan sunyi untuk sebuah “retreat” guna memperoleh kedamaian dalam persekutuan dengan Yesus Kristus.”[102]
                 Karena itu dapat diduga bahwa Yesus berencana mengadakan kegiatan ibadah bersama murid-murid-Nya, namun ibadah itu tidak berlangsung di Bait Allah atau di rumah melainkan di padang rumput. Ibadah itu adalah ibadah retreat.

c.2. Orang banyak mengikuti mereka (33-34b)
                 Ketika Yesus bersama murid-murid-Nya sedang bertolak dengan naik perahu, orang banyak melihat mereka dan mengetahui tempat yang menjadi tujuan mereka. Dengan mengambil jalan pintas, orang banyak itu mengikuti mereka dan mendahului mereka tiba di tempat yang dimaksudkan Yesus. Hal yang ganjil adalah bahwa orang banyak itu mengetahui tempat yang dituju oleh Yesus dan murid-murid-Nya. Istilah yang dipakai untuk kata “mengenal” atau “mengetahui”adalah epiginosko, yakni mengetahui dengan sungguh-sungguh tentang sesuatu hal atau mengerti. Dalam teks Bahasa Yunani, tidak ada kata ganti orang. Pokok pikirannya adalah Yesus dan murid-murid-Nya yang mengasingkan diri, dan orang banyak itu mengerti alasan mereka untuk pergi, yakni untuk mendapatkan keterangan.[103]
Dari data ini dapat diduga bahwa orang banyak itu mengenal Yesus beserta murid-murid-Nya dan mengetahui kebiasaan-kebiasaan mereka, termasuk kebiasaan “retreat” di padang rumput atau di tempat yang sunyi. Hal ini menegaskan bahwa keikutsertaan orang banyak dalam “retreat” Yesus bukanlah untuk menggangu[104] atau kebetulan. Mereka datang dengan kesengajaan dan kesadaran: kesadaran bahwa mereka sangat membutuhkan pertolongan dan Yesus adalah Pembuat keajaiban. Markus tidak menyebutkan secara jelas apa yang menjadi alasan sesungguhnya dari kedatangan orang banyak itu. Namun keadaan orang banyak “seperti domba yang tidak mempunyai gembala”, menjadi alasan Yesus berbelas kasihan.

c.3. Yesus mengajar (34c)
            Setelah orang banyak itu berkumpul dan berbaur bersama Yesus dan murid-murid-Nya, tampaklah “kumpulan umat” dan Yesus mengajar mereka tentang banyak hal. Markus tidak menyebutkan apa-apa saja tentang pokok pengajaran Yesus pada waktu itu, tetapi Bolkestein mengatakan: “pengajaran Yesus adalah penyataan masa keselamatan yang sedang tiba dan yang kini menjadi kenyataan di sekeliling Dia dan di dalam Dia. Ia memanggil semua pendengar-Nya untuk menerima karya penyelamatan Allah yang di dalam menjadi kenyataan.”[105]
c.4. Yesus “menahbiskan” murid-murid (35-37)
            Sebelumnya peranan murid-murid tidak terlihat dalam “retreat” ini. Beberapa penafsir mengatakan bahwa murid-murid sesungguhnya tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Namun Yesus memerintahkan mereka: kamu harus memberi mereka makan! Perintah ini bukan hanya menyuruh murid-murid untuk mencari solusi, tetapi terutama Yesus sedang membangun peranan murid-murid ke tingkat yang baru. Tindakan mereka diperlukan untuk pemenuhan pelayanan Yesus. Partisipasi yang baru ini diteguhkan melalui peranan dan keterlibatan mereka dalam membangun dialog antara Yesus dengan orang banyak.[106]
            Pada ayat 41, ketika Yesus membagikan roti setelah dipecah-pecahkan, Yesus tidak langsung memberikan roti yang dipecah-pecahkan tersebut kepada orang banyak, melainkan melalui tangan murid-murid. Pola ini mengingatkan fungsi atau peranan “diaken” pada pelayanan meja perjamuan. Dengan demikian, kata “kamu” mendapat penekanan penting. Artinya “penabihsan” murid-murid ini, bukan saja membuat peranan murid-murid menjadi baru, tetapi terutama Yesus sedang “menyerahkan” tugas pelayanan misi Allah (Missio Dei) kepada mereka, yang kemudian menjadi tugas panggilan gereja, yakni melaksanakan misi Kristus (Missio Chisti). Bahkan, “menurut gaya kitab Injil keempat [tentang kisah yang sama], perintah Yesus ini menjadi titik tolak dari keajaiban yang akan datang. Tetapi hal itu belum dipahami oleh murid-murid.”[107]
c.5. Perjamuan (38-44)
            Setelah “penabihsan” murid-murid, Yesus memasuki “liturgi” perjamuan. Pertama-tama, bahan untuk perjamuan dipersiapkan, yakni roti dan ikan. Dalam bagian ini Markus sama sekali tidak menyebutkan unsur anggur atau minuman. Namun ciri perjamuan Paskah dan Perjamuan Tuhan sangat kental disuarakan. [108]
            Pertama, elemen roti dan ikan tidaklah secara tegas dijelaskan, namun dapat diketahui simbol ikan secara luas digunakan sebagai “tanda” di antara komunitas-komunitas Kristen yang paling awal. Pada masa itu, ikan bersama dengan roti merupakan suatu hal yang sudah lazim. Pada waktu-waktu kemudian, lukisan roti dan ikan ini terukir pada dinding-dinding katakombe-katakombe kekristenan awal sebagai simbol ekaristi. [109]
            Kedua, Yesus menyuruh murid-murid untuk membagi orang banyak itu kedalam kelompok-kelompok dan duduk di atas rumput. Hal ini mengingatkan peristiwa keluaran Israel dari Mesir ketika mereka menerima manna di padang gurun[110] dan juga pada perjamuan Tuhan gereja mula-mula. “setiap pembaca Injil Markus akan memahami bahwa keadaan itu mirip dengan keadaan jemaat rumah, dan cara mereka merayakan Perjamuan Tuhan  di gereja purba.”[111]
            Ketiga, Yesus bertindak sebagai tuan rumah. Tindakan Yesus ini adalah tindakan tuan rumah yang melayani para tamunya.[112] Apabila setiap orang telah mengambil tempat, tampillah Yesus sebagai kepala “meja”, yaitu sebagai tuan rumah, seperti yang dilakukan-Nya pada Perjamuan Terakhir.[113]
            Keempat, Yesus mengambil roti, mengucapkan berkat, memecah-mecahkan dan kemudian membagikannya. Markus tidak menyebutkan rumusan berkat yang diucapkan oleh Yesus, tetapi kemungkinan besar rumusan itu adalah: “terpujilah engkau, ya Tuhan dan Allah-Ku, raja segenap alam, yang kemudian di-amin-kan oleh para hadirin. Sementara tindakan memecahkan dan membagikan roti dan ikan merefleksikan tentang kesatuan dan saling berbagi.[114]
            Kelima, mereka makan sampai kenyang bahkan bersisa 12 bakul. Unsur “kenyang” dan “bersisa” menjelaskan bahwa perjamuan itu bukan terbatas pada hal-hal yang ritual saja, tetapi juga sangat berkaitan dengan kehidupan sehari-hari orang banyak atau umat. Unsur “kenyang” merujuk kepada tindakan ajaib Yesus yang memenuhi kebutuhan primer dari orang banyak, bahkan lebih dari cukup. Sedang unsur “bersisa” menegaskan “supaya ada persediaan untuk orang lain, yang pada saat itu tidak dapat hadir.”[115]
            Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa kisah pemberian makan ini menjelaskan dua hal penting: pertama, Yesus adalah Hamba yang benar yang diutus oleh Allah menjadi Gembala atau pelayan yang menjaga, memelihara dan memberi makan domba-dombanya. Kedua, ibadah dan pengajaran-pengajaran tidak berhenti pada tataran ritual dan konsep-konsep belaka melainkan harus terjalin satu dengan tindakan nyata dalam persoalan hidup sehari-hari. Hal ini menjadi sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para pemimpin agama Yahudi yang pada saat itu berperan sebagai gembala umat israel mereka lebih memikirkan diri-sendiri dengan menekankan ibadah ritual dan mengutamakan detailnya hukum-hukum maupun konsep-konsep pengajaran, tetapi alpa terhadap persoalan hidup yang dialami oleh umatnya.[116]

Rangkuman
Keadaan umat israel pada masa Yesus yang mengalami “kelaparan” dalam arti luas merupakan petunjuk ke arah ditretapkannya Perjamuan Terakhir oleh Yesus sebagai penyataan kerajaan Allah di tengah dunia. Perjamuan terakhir yang diselenggarakan Yesus bersama murid-muridnya memiliki keterkaitan yang kuat dengan persoalan hidup yang dialami oleh umat israel. Penyataan keadilan ini tidak melalui penggunaan kekuatan atau (force) melainkan menyentuh hal yang paling esensial dari persoalan “kelaparan” manusia, yakni dosa. Pada dasarnya kesalahan dan kejahatan tidak berada pada sistem, aturan, lembaga dan segala bentuk-bentuk kekuasaan, melainkan ada pada manusia itu sendiri. Dosalah yang membuat manusia tuan atas sesamanya. Dosa jugalah yang menggerakkan manusia untuk menjadikan hukum, sistem, lembaga dan kekuasaan menjadi tujuan, tidak lagi sebatas alat atau sarana. Akibatnya manusia menguasai manusia lainnya, sementara di tempat lain manusia menjadi objek dari sistem dan kekuasaan. Akhirnya manusia mengalami “kelaparan” dalam arti luas.
            Itulah sebabnya Yesus menantang manusia dan manusia yang mengelola kekuasaan, baik otoritas politik maupun agama dengan memaklumkan kerajaan Allah, baik melalui tindakan simbolik maupun pengajarannya. Secara khusus Yesus menantang pemimpin-pemimpin agama Yahudi yang mengelola dan “menguasai” seluruh umat israel, baik politik, sosial, ekonomi, maupun keagamaan. Tantangan dan kecaman Yesus ini berhubungan dengan penyalah-gunaan Bait Allah sebagai pusat kehidupan umat Israel dan kealfaan mereka dalam persoalan-persoalan umat. Hal ini secara nyata diperlihatkan Yesus dalam tindakan maupun pengajaran-Nya; baik demonstrasi di Bait Allah, pengajaran tentang dosa maupun pemberian makan yang ajaib. Dengan latarbelakang ini, Perjamuan Terakhir merupakan permulaan ibadaH BARU atau ibadah alternatif yang terjadi di dalam diri-Nya sebagai Bait Allah yang sesungguhnya menggantikan Bait Allah di Yerusalem yang telah kehilangan fungsinya.


[1] Penjelasan tentang arti dan makna “lapar” diuraikan dengan baik oleh Monika K. Hellwig dalam bukunya: The Eucharist and the Hunger of the World (New York: Paulist Press, 1976), 9-23 (Selanjutnya disebut: Hellwig, The Eucharist and the Hunger for justice: The Politic of food and faith ( Maryknoll: Orbis Books, 1981), 1-9.
[2] Weinata Sairin & J.M. Pattiasina (peny.), Hubungan Gereja dan Negara dan Hak-Hak Asasi Manusia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 74.
[3] Istilah “masyarakat bawah” berasal dari pembagian kelompok masyarakat yang didasarkan pada status sosial ekonomi. Pembagian ini terdiri atas tiga kelompok: Kelompok pertama disebut kelas atas, yakni para pemimpin politik atau penguasa, pemimpin agama, tuan-tuan tanah, para saudagar atau pemilik modal dan orang kaya. Kelompok kedua umumnya terdiri dari para pekerja yang hidup dari keahlian yang mereka miliki, seperti tukang bangunan, adminstrator, para seniman dan cendekiawan. Sementara kelompok ketiga adalah masyarakat bawah, yakni para petani, buruh upahan, para gelandangan, pengemis, orang-orang yang cacat, parabudak dan semua masyarakat yang terpinggirkan. Lihat Frans Harjawiyatna, Yesus dan Situasi Zaman-Nya, (Yogyakarta: Kanasius, 1998), 42-48 (Selanjutnya disebut: Harjawiyatna, Yesus dan Situasi).
[4] Stambaugh & Balch, The New Testament, 13, dan Arthur E. Zannoni, Jesus of the Gospel: Apa Kata Injil tentang Dia (terj.) (Jakarta: Obor, 2004), 21 (Selanjutnya disebut: Zannoni, Jesus of the Gospel).
[5] Stambaugh & Balch, The New Testament, 14; lihat juga Lukas Tjandra, Latar Belakang Perjanjian Baru I (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2000) 79-82 (Selanjutnya disebut: Tjandra, Latar Belakang).
[6] Stambaugh & Balch, The New Testament, 20, dan Zannoni, Jesus of the Gospel, 22.
[7] Raja Antiokus IV Epifanes lahir di kota Atena. Sifatnya bengis dan kaku, sadis dan licik, angkuh dan sombong, sampai-sampai ia menyebut dirinya sebagai dewa. Karena kekejaman dan kesadisannya ia dilambangkan sebagai anti Kristus. Sepak terjangnya yang lebih jauh dalam penindasan bangsa Yahudi. Lihat Tjandra, Latar Belakang, 97-100.
[8] Mengenai sejarah dinasti Hasmon ini secara terang dan jelas diuraikan oleh Staubaugh & Balch, The New Testament, 22, dan juga Zannoni, Jesus of the Gospel, 23. Sedangkan mengenai gerakan revolusi di bawah pimpinan Yudas Makabeus, dikisahkan dengan baik oleh Tjandra, Latar Belakang, 107-117.
[9] Merril C. Tenney, Survey Perjanjian Baru, (Malang: Gandum Mas, 1997), 38 (Selanjutnay disebut: Tenney, Survey PB). Herodes Antipater inilah orang yang bertanggungjawab bagi dukungan pompey terhadap Hirkanus. Ia adalah orang Arab yang sudah memeluk agama Yahudi dan merupakan seorang anggota keluarga yang terkemuka di Idumea. Lihat S. Wimoady Wahono, Di sini Kutemukan: Petunjuk mempelajari dan mengajarkan Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, Cet. Ke-3, 1990), 282 (Selanjutnya disebut: Wahono, Di sini).
[10] Matius 2:16-18. Kekejaman Herodes ini termasuk membunuh anak-anaknya sendiri karena dianggap mengancam kerajaannya. Lihat Stambaugh & Balch, The New Testament, 24.
[11] Wahono menyebutkan bahwa pembagian kerajaan kepada ketiga anaknya setelah kematian Herodes Agung didasarkan pada surat wasiat yang dituliskan oleh Herodes Agung: Wahono, Di Sini, 288, sedangkan Zannoni mengatakan pembagian itu dilakukan oleh pemerintah Roma. Hal ini berdasar, sebab dinasti Herodes yang memerintah di wilayah Yahudi berada dalam kontrol dan kekuasaan kekaisaran Roma, Zannoni, Jesus of the Gospel, 26.
[12] Tenney, Survey PB, 44 dan Stambaugh & Balch, The New Testament, 25.
[13] Ibid, 45, dan 25. Lihat juga Gerd Theissen, The Gospel in Context: Social and Political History in the Synoptic Tradition, (Edinburgh: T&T Clark, 1992), 37-38 (Selanjutnya disebut: Theissen, The Gospel in Context).
[14] Richard J. Cassidy, Jesus, Politics, and Society: A Study of Luke’s Gospel, (Maryknoll: Orbis Books, 1979), 59 (Selanjutnya disebut: Cassidy, Jesus, Politics).
[15] Tenney, Survey PB, 43, dan Stambaugh & Balch, The New Testament, 25.
[16] Wahono, Di Sini, 289.
[17] Tjandra, Latar Belakang, 134 dan Tenney, Survey PB, 51.
[18] Stambaugh & Balch, The New Testament, 26, dan Wahono, Di Sini, 292.
[19] Grassi, Perwujudan Ekaristi, 14
[20] Cassidy, Jesus, Politics, 99.
[21] Harjawiyata, Yesus dan Situasi, 42.
[22] Tenney, Survey PB, 75.
[23] Harjawiyata, Yesus dan Situasi, 43.
[24] Lihat Borg, Kali Pertama, 56-63.
[25] Harjawiyata, Yesus dan Situas, 47. Bdg. Theissen, The Gospel in Context, 61-65.

[26] Grassi, Perwujudan Ekaristi, 18.
[27] Ibid.,19.
[28] Borg, Kali Pertama, 61
[29] Lihat Harjawiyata, Yesus dan Situasi, 80-105.
[30] S. Anita Stauffer (ed.), Worship and Culture in Dialogue: Reports of International Consultations: Cartigny, Switzerland, 1993: Hong Kong, 1994 (Geneva: Department for Theology and Studies the Lutheran World Federation, 1994), 69 (Selanjutnya disebut: Stauffer, Worship and Culture).
[31] Walter A. Elwell (gen. Ed.), Baker Encyclopedia of the Bible Vol. I (Grand Rapids: Baker Book House, 1989), s. v. Feast and Festivall of Israel (R.K. Harriso) (Selanjutnya disebut: Elwell, Baker Encyclopedia).
[32] James Hastings (ed.), Encyclopedia of Religion and Ethics (New York: Charles Sribner’s Sons, 1951), s.v. Feasting (J.A. MacCulloch).
[33] Mangun Wijaya, Ragawidya, 97.
[34] Leon-Dufor, Ensiklopedi, 295.
[35] Walter A.Elwell, Baker Encyclopedi, s.v. Feast and Festival of Israel (R.K Harrison).
[36] Colin Brown (gen.ed), The New International, s.v. Feast, Passover (R. Mayer).
[37] Zannoni, Jesus of Gospels, 110
[38] George Arthur Buttrick (Dictionary editor), The Interpreter’s Dictinary of  the Bible: An Illustrated Encyclopedia (Nashville: Abingdon Pres, 1962), s.v. “J.C. Rylaarsadam).
[39] Gertrude Jobes, Dictionary of Mythologi: Floklore and Symbol I (New York: The Scarecrow Press, inc.,1962),554.
[40] Buttrick, The Interpreter’s, s.v “Feasts and Fast.”
[41] Merril C. Tenny (gen, ed.), Pictorial Encyclopedia of The Bible2, (Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1976,s.v. “Feasts” (J.P.Lewis).
[42] Zannoni, Jesus of the Gospel, 113.
[43] B.F. Westcott, The Gospel According to John, (Grand Rapids: WM. B. Eerdmans Publishing Company, 1962), 35 (Selanjutnay disebut: Wescott, The Gospel). Lihat juga Oscar Cullmann, Early Christian Worship, (Philadelphia: The Westminster Press, 1978), 66-71.
[44] Zannoni, Jesus of the Gospel, 111.
[45] Ibid.,115.
[46] Perayaan Paskah dan Hari Roti Tidak Beragi diduga berasal dari ritus dan kebiasaan masyarakat Kanaan yang sudah lama berangsung sebelum sejarah Israel, lalu kemudian diadopsi oleh Isarel menjadi perayaan mereka. Perayaan Paskah berasal dari ritus para gembala untuk melindungi domba-domba mereka dari berbagai ancaman dan kematian. Sementara Roti Tidak Beragi merupakan perayaan yang berhubungan dengan pertanian dari masyarakat Kanaan. Lihat Merrill C. Tenney (gen. Ed.), Pictorial Encyclopedia of the Bible 4 (Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1976), s.v. “Pssover” (J. Jocz).
[47] “Biarkan umat-Ku pergi untuk mengadakan perayaan bagi-Ku di padang gurun” menguatkan hipotesis bahwa perayaan Paskah berasal atau adopsi dari Tirus para gembala di padang gurun. Buttrick, The Interpreter’s s.v. “Passover and Feast of Unleavened Bread.”
[48] Lihat Ensiklopedia Alkitab Masa Kini II, (Jakarta: Yayasan Bina Komunikasi Kasih.OMF, 1995), s.v. “Paskah, Hari Raya.”
[49] Lihat Ensiklopedia Alkitab Masa Kini II, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1995), s.v. “Paskah, Hari Raya.”
[50] Ibid. Lihat juga Gerd Theissen and Annette Merz, The Historical Jesus: Comprehensive Guide, (London: SCM Press Ltd, 1998), 424 (Selanjutnya disebut: Theissen-Merz, The Historical).
[51] Hagada adalah kiasan atau riwayat pembebasan Israel dari perbudakan Mesir yang dirituskan melalui dialog dan peragaan dengan tujuan agar setiap perayaan (umat) mengingat apa yang telah Allah perbuat dan yakin bahwa Allah yang sama sedang dan akan terus bertindak untuk mereka.
[52] Diperkirakan pada bagian inilah Yesus menyatakan amanat penetapan Perjamuan Terakhir yang mentranspormasi Perjamuan Paskah ke dalam diri-Nya sendiri (melalui seluruh hidup, penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya) dengan merujuk roti dan anggur kepada tubuh dan darah-Nya.
[53] Lihat Goran Parsson, Bound for Freedom: The Book of Exodus in Jewish and Christian Traditions, (Peabody: Hendrickson Publishers, 1999), 80-95.
[54] Lihat juga H. Rosin, Tafsiran Alkitab: Kitab Keluaran 1-15: 21, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 163-165.
[55]Theissen-Merz, The Historical, 432.
[56] Ben Witherington III, The Gospel of Mark. A Sicio-Rethorical Commentary (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publising Company, 2001), 315 (Selanjutnya disebut: Witherington, The Gospel)   
[57] Frank J. Matera, Passion Narratives and Gospel Theologis: Interpreting the Syonopttic through their Passion Stories (New York: Paulist Press, 1986), 67, (Selanjutnya disebut: Matera, Passion)
[58] E.P. Sanders, Jesus and Judaism (Londom: SCM Press: Ltd, 1985), 62 (Selanjutnya disebut: Sanders, Jesus).
[59] Penyediaan binatang korban menjadi sesuatu yang “harus” dikerjakan sebagai konsekuensi logis dari fungsi prinsipil dari Bait Allah sebagai tempat di mana pelayanan korban dipusatkan. Sementara itu pelayanan korban mengharuskan suplai binatang-binatang korban yang layak. Di pihak lain, alat tukar menukar atau uang yang berlaku di Bait Allah adalah koin Tyrian. Hal ini memaksa setiap orang yang ikut dalam perayaan Paskah ini harus menukarkan uang terlebih dahulu sebelum terjadi transaksi jual beli, khususnya bagi merek ayang datang dari berbagai penjuru dunia dan yang tidak menjadikan uang Tyrian sebagai mata uang daerah atau negaranya. Lihat Sanders, Jesus, 63-65.
[60] Ibid, 66.  Karena para imam yang mengontrol segala sesuatu yang terjadi di Bait Allah, ada dugaan bahwa para imam memberikan rekomendasi atau restu terhadap binatang-binatang yang akan dibeli sebagai yang di pandang layak dan suci. Jika dugaan ini benar, maka dapat dipahami tindakan Yesus mencela pemimpin-pemimpin Bait Allah dan pemakluman akhir dari Bait Allah.
[61] Warrant Carter, Mathew and the Margins: A Sosiopolitical and Religious Reading (Maryknoll: Orbits Books, 2002), 418 (Selanjutnya disebut: Carter, Mathew).
[62] Selain mencela
[63]Matera, Passion, 67.
[64]Carter, Mathew, 418.
[65]Wolfgang Stegemann, Bruce J. Malina & Gerd Theissen (editors), The Social Setting of Jesus and the Gospel (Minneapolis: Fortress, 2002), 238.
[66]Lihat Bab I dari tulisan ini.
[67]Sanders, Jesus, 70.
[68]Matera, Passion, 67.
[69]Ibid., 68.
[70]Ibid.
[71]Witherington, The Gospel, 317.
[72]Westcott, The Gospel, 42.
[73]D.A. Carson, The Gospel According to John (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1991), 175-183 (Selanjutnya disebut: Carson, The Gospel).
[74]Theissen-Merz, The Historical, 433.
[75]  Matera, Passion, 68.
[76]James D. G Dunn, Jesus Remmbered (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 2003), 17.3 (Selanjutnya disebut: Dunn, Jesus Remembered).
[77]Ibid.
[78]Ibid
[79] Dunn, Jesus Remembered, 17.4.
[80]Ibid.
[81]Lihat Gerald, The Creed of Christ: An Interpretation of the Lord’s Prayer (New York: Harper & Brothers Publishers, 1940) (Selanjutnya disebut: Heard, The Creed).
[82]Lihat G.A. Studdert Kennedy, The Wicket Gate or Plain Bread (New York: George H. Doran Company, 1923)(selanjutnya disebut: Kennedy, The Wicket).
[83]Lihat F.X. Agus Suryana Gunadi & I. Suharyo, Datanglah Kerajaan-Mu: Latar Belakang dan Penafsiran Doa Bapa Kami (Yogyakarta: Kanisius, 1998) (Selanjutnya disebut:Gunardi & Suharyo, Datanglah).
[84]Lihat Leonardo Boff, The Lord’s Prayer: Prayer of Integral Liberation (Maryknoll: Orbis Books, 1988)(Selanjutnya disebut: Boff, The Lord’s).
[85] Lihat Bab I.A
[86] George Arthur Buttrick, So We Believe, So We Pray (New York: Abingdon-cokesbury Press, 1966), 185 (Selanjutnya disebut: Buttrick, So We Believe)
[87] Gunadi-Suharyo, Datanglah, 103 dan J. L. Ch. Abineno, Manusia dan Sesamanya Di Dalam Dunia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1967), 145 (Selanjutnya disebut: Abineno, Manusia).
[88] Boff, The Lord, 75.
[89] Heard, The Creed, 94.
[90] Kennedy, The Wicked, 152.
[91] Buttrick, So We Believe, 188
[92] Abineno, Manusia, 147.
[93] Boff, The Lord’s, 77.
[94] Abineno, Manusia, 149-155; Boff, The Lord’s, 79-83; Heard, The Creed, 191-192.
[95] K. Riedel, Injil Markus (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1956), 78-79.
[96] John Hargreaves, A Giude to St. Mark’s
[97]D.E. Nineham, The Pelican New Testament Commentaries: The Gospel of St. Mark (London: Penguin Books, 1969), 179.
[98]Morna D. Hooker, A Commentary on the Gospel According to St. Mark (London: A & C Black, 1991), 164-165.
[99]Eduard Schweizer, The Good News According to Mark (London: SPCK, 1971), 137-138 (Selanjutnya disebut: Schweizer, The Good News).
[100]Ched Meyers, Binding the Strong Man: A Political Reading of Marks Story of Jesus (New York: Orbis Books, 1988), 206-208.
[101] Nineham, The Pelican, 182, dan Hooker, A Commentary, 165.
[102]Hagreaves, A Guide, 103.
[103]Kenneth S. Wuest, Mark: In the New Testament of the English Reader (Grand Rapids: WM. B. Eerdmans Publishing Company, 1953), 133.
[104] Hargreaves, A Guide, 104.
[105] M.H. Bolkestein, Kerajaan yang Terselubung: Ulasan atas Injil Markus, terj. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 122 (Selanjutnya disebut: Bolkestein, Kerajaan).
[106] Edwin K. Broadhead, Teaching with Authority: Miracle and Chistology in the Gospel of Mark (Jounal for the study of the New Testament; Suplement Series 74), 119.
[107]Bolkestein, Kerajaan, 123.
[108] Untuk lebih memahami latarbelakang dan makna “pemberian makan atau perjamuan” ini dalam konteks Yahudi, ada baiknya membandingkannya dengan pemikiran Klpatrick mengenai perjamuan suci. Lihat Klpatrick, The Eucharist in Bible, 59-68,
[109] Nineham, The Pelican, 183.
[110] Hooker, A Commentary, 167.
[111] Bolkestein, Kerajaan, 133-134
[112] Nineham, The Pelican
[113] Bolkestein, Kerajaan, 124
[114] Bnd. Xavier Leon-Dofour, Sharing the Eucharistic Bread: The Witness of the New Testament (New York:Paulist Press, 1981),22-24 (selanjutnya disebut: Leon-Dufour, Sharing).
[115] Hooker, A Commentary, 167.
[116] Lihat Bab I.A.4.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proposal Skripsi

“TINJAUAN TEOLOGIS TERHADAP PENGAJARAN ALLAH TRITUNGGAL MENURUT ERASTUS SABDONO”

Ajaran Sesat