Bab I Tesis
BAB I
KELAPARAN:
KONTEKS PERJAMUAN TERAKHIR
Oleh:
Ramli Sianturi
Istilah “lapar” secara khusus dihubungkan dengan elemen
dasar dari kehidupan manusia, yakni makanan atau roti. Sifat esensial ini
menegaskan bahwa tidak ada manusia yang dapat hidup tanpa roti atau makanan. Karena
itu persoalan “lapar” bukan saja menyangkut penderitaan karena tidak
mendapatkan atau memilki makanan, tetapi juga meliputi eksistensi manusia itu
sendiri sebagai makhluk hidup dan beradab.[1]
Dengan kata lain, “lapar” menunjuk kepada persoalan manusia yang seutuhnya.
Dengan pengertian ini, persoalan “lapar” tidak hanya berbicara tentang
kebutuhan fisik tetapi juga hak-hak dasar yang bertolak dari hakikatnya sebagai
manusia, sebagaimana dikehendaki Allah pada waktu penciptaan.
Hak-hak ini meliputi hak untuk hidup bermartabat, hak untuk
berkomunitas, hak untuk mengelola alam ciptaan dan hak untuk membangun masa
depan tentunya dengan segala kewajiban asasi yang terkait.[2]
Intinya, hak itu adalah hak untuk menerima atau mendapatkan dan hak untuk
memberi atau terlibat berdasarkan kebebasan dan kewajiban yang dikaruniakan
Allah kepada manusia itu semenjak ia diciptakan. Apabila hak-hak itu diabaikan
dan ditindas, maka dengan sendirinya manusia itu mengalami penderitaan, yaitu
“kelaparan” dalam arti yang luas, yang menyangkut kehidupan manusia seutuhnya.
A.
“LAPAR”:
SITUASI MASYARAKAT PADA ZAMAN YESUS
Pada zaman Yesus, peristiwa “kelaparan” akibat penindasan
dan ketidakadilan, secara nyata dan mendalam, menimpa umat Yahudi, khususnya
masyarakat bawah[3]
yang mayoritas. Akar “kelaparan” ini dapat ditelusuri melalui empat bidang
kehidupan, yakni politik, ekonomi, sosial dan keagamaan. Pada bagian ini
penulis secara khusus menguraikan keempat bidang kehidupan tersebut guna
menemukan akar-akar “kelaparan” dan persoalan dalam komunitas Yesus.
1.
Politik
Pada zaman Yesus, ada tiga kekuatan politik yang berpengaruh
dan menguasai pergerakan hidup bangsa Yahudi. Ketiga kekuatan ini memiliki
hubungan yang kait mengait dan saling memberi pengaruh.
a.
Yunani
Bangsa Yunani menguasai Paletina dari tahun 323-142 s.M[4].
pepimpin mereka yang terkenal adalah Alexander Agung. Di bawah pemimpinya bangsa Yunani mencapai puncak kejayaan; baik secara
ekonomi, politik maupun terutama perluasan wilayah taklukan atau jajahan.
Wilayah kekuasaanya mencakup sebagian besar daerah Timur Tengah hingga
daerah-daerah Timur Jauh.[5]
Namun setelah kematiannya, kekuasaan Yunani terbagi menjadi dua wilayah
kekuasaan yaitu wilayah Antiokhia di Siria dan Alexandria di Mesir.[6]
Wilayah Antiokhia meliputi Israel bagian utara yang dipimpin oleh Seleukid dan
para penerusnya. Sedangkan Alexandria meliputi barat daya Palestina yang
dipimpin oleh Ptolemei dan para penggantinya.
Dibandingkan dengan dinasti Seleukid, pemerintahan dinasti
Ptolemei jauh lebih toleran terhadap bangsa yang didudukinya. Dinasti Ptolemei,
misalnya tidak mencampuri atau terlalu mengatur urusan internal bangsa Yahudi;
baik politik, ekonomi maupun agama. Urusan-urusan seperti itu diserahkan kepada
para pemimpin Yahudi. Tapi sayang, dinasti ini berakhir pada tahun 198 s.M.,
saat seluruh Israel dikuasai oleh dinasti Seleukid.
Dinasti Seleukid memerintah secara keras dan ketat, apabila
setelah Roma mengalahkan tentara mereka dan meminta upeti sebagai kewajiban
taklukan. Dengan dalih ini dan dalam rangka memperkuat angkatan perangnya,
dinasti Seleukid menerapkan pajak tinggi yang sangat memberatkan bangsa Israel.
di samping itu, mereka juga menguasai tanah yang pernah dikuasai oleh dinasti
Ptolemei. Terutama di bawah kekuasaan Antiokus IV Epifanes[7],
bangsa Israel semakin tertindas. Selain penindasan politik dan ekonomi, mereka
juga mengalami penindasan agama, di mana Epfanes menodai Bait Allah dengan
mendirikan altar bagi dewa Zeus di ruang Mahasuci. Bagi orang Isrel Bait Allah
adalah simbol kehidupan yang paling tinggi dan paling suci. Menodai Bait Allah
sama saja menginjak-injak martabat kedirian orang-orang Israel dan menganggap
mereka sebagai yang tidak ada atau bukan manusia. (inilah kekuatan terakhir dan
terpenting dalam kehidupan Israel, yakni kekuatan religus). Akibatnya, seluruh
Yudea di bawah pimpinn Yudas Makabeus (keluarga Hasmon) melakukan pemberontakan
terhadap pemerintah Seleukid, terutama altar Zeus, yang kemudian dikenal dengan
Hanukah (Hari Raya Pentahiran
Kembali). Selanjutnya, dinasti Seleukid memberikan kemerdekaan penuh kepada
bangsa Israel dan memberikan “penghargaan” kepada keluarga Hasmon berupa posisi
sebagai Imam Besar. dan semenjak saat itu keluarga Hasmon menjadi pemimpin
politik bagi kaum Israel (tahun 142-63 s.M.).[8]
b.
Dinasti Herodes
Dinasti ini dimulai dari Antipater[9],
serorang menteri Hirkanusyang berpengaruh dan diberi kewarganegaraan oleh Roma.
Karena pengaruhnya yang begitu kuat, dia menunjuk dua putranya, yaitu Fasael
menjadi pnguasa di Yerusalem dan Herodes yang berkuasa di Galilea. Herodes,
yang kemudia disebut Herodes Agung, adalah seorang pemimpin politik yang
berhasil. Atas kelihaianya Roma merestui dia menjadi raja atas bangsa Yahudi.
Selama pemerintahannya, Herodes melakukan banyak perbaikan, khususnya di bidang
sosial ekonomi. Akan tetapi oleh karena perjalanan hidupnya yang penuh dengan
intrik politik, akhirnya ia menjadi seorang yang kejam dan takut kehilangan
kekuasaannya. Setiap ada gerakan atau gejala-gejala yang dianggap mempengaruhi
kekuasaannya, dia tidak segan-segan membunuh dan membinasakannya. Bahkan ada
dugaan anak-anak pun, ketika Yesus lahir, tidak luput dari kekejamannya.[10]
Setelah Herodes mati, Roma membagi kekuasaannya kepada
ketiga anaknya, yakni Filipus, Herodes Antipas dan Arkelaus.[11]
Filipus menguasai daerah yang membentang sampai timur laut Palestina kuno,
yaitu Batania, Trakhonitis dan Auranitis. Filipus termasuk perkecualian yang
baik dalam keluarga Herodes Agung. Dia memerintah rakyat dengan adil dan
bijaksana.[12]
Herodes Antipas memerintah Galilea dan Perea, daerah bagian
timur sungai Yordan, di mana Yesus biasanya mengajar. Dia menguasai hampir dua
pertiga dari seluruh tanah, baik yang dibeli maupun yang dirampas. Akibatnya
banyak petani yang tadinya pemilik tanah menjadi penggarap atau penyewa. Bahkan
tidak jarang dari antara mereka ada yang menjadi buruh-buruh upahan yang
gajinya seringkali tersendat-sendat pembayarannya. Selain itu, diamemperlakukan
pajak lebih berat dari penguasa Roma. Diperkirakan bahwa orang Yahudi di
Galilea membayar tiga puluh hingga empat puluh persen dari pendapatan mereka
sebagai pajak pemerintah dan pajak agama. Dia jugalah yang memenggal kepala
Yohanes Pembaptis oleh karena kritikan Yohanes atas perkawinannya dengan istri
saudaranya. Di lain pihak, Yohanes Pembaptis, karena popularitasnya, dianggap
membahayakan pemerintahannya,[13]
bahkan Yesus menyebut dia sebagai “serigala”.[14]
Sementara Arkelaus, yang mendapatkan daerah yang sangat
penting, yaitu Yudea, Samaria dan Idumea, tidak jauh beda dengan ayahnya.
“Kecemburuannya pada semua orang yang dianggap pesaingnya dan pembalasanya yang
tak kenal ampun merupakan buktinya.”[15]Bahkan
sifat pemerintahannya yang tidak disukai orang, yaitu jahat, membuat Yusuf
mengalihkan perjalanan pulangnya dari Mesir yang seyogianya ke Yerusalem menjadi
ke Galilea (Matius 2:22).[16]
c.
Roma
Sejak kemenangan Pompey pada tahun 63 s.M., Roma menyatakan
Yudea sebagai wilayah kekuasaannya.[17]
Mula-mula Roma menempatkan Herodes Agung dan keluarganay sebagai raja boneka
yang memerintah Israel, namun kemudian diambil alih dan langsung di bawah
kekuasaan seorang gubernur Romawi. Pada umumnya para gubernur ini tidak
disukai, karena mereka suka mencampuri urusan keagamaan dengan menunjuk atau
mengangkat seorang imam pilihan mereka. Salah seorang yang terkenal dalam cerita
Injil adalah Pontius Pilatus. Dia adalah gubernur Yudea yang memutuskan hukuman
mati (salib) kepada Yesus. Ia adalah seorang oportunis yang tidak berkarakter
baik, bahkan dia sering melakukan pembunuhan secara sadis dan lalim. Dia sama
sekali tidak menghormati adat istiadat dan agama Yahudi, bahkan dengan sengaja
ia memerintahkan tentaranya meninggikan patung kaisar dan masuk Yerusalem. Ia
juga merampok dan menyalah-gunakan uang Bait Allah untuk membuat saluran air
semaunya dan menghina pemimpin-pemimpin Israel secara terang-terangan.[18]
Secara umum pemerintahan Roma tidak mengenal kebijakan
membantu negara-negara yang dikuasainya, sebaliknya cenderung memeras dan
mengisap rakyat demi kepentingan pemerintahan dan bagi keperluan angkataqn
perangnya. Untuk tujuan ini Roma memberlakukan sistem pajak yang ketat dan
detail. Sekurang-kurangnya ada tiga jenis pajak yang dikenakan Roma kepada
Israel, yaitu pajak tanah yang dibayar dengan uang, pajak cacah jiwa yang
dipungut dari siapapun selain anak dan yang sudah tua, dan pajak penjualan;
baik pungutan tol maupun bea cukai. Beban ini semakin mencekik penduduk Israel
karena sikap dan perilaku para pemungut pajak yang ditunjuk Roma yang memeras
rakyat secara rakus dan kejam demi memperoleh laba sebanyak-banyaknya. Apbila
rakyat tidak membayar pajak maka mereka akan langsung berhadapan dengan
kekejaman tentara Roma dan penjara.[19]
Di samping itu, pemerintah Roma memberikan hadiah berupa
jabatan gubernur kepada pemimpin politik atau militer yang setia kepada Roma,
khususnya yang mampu mengumpulkan pajak yang banyak dan membela kepentingan
politik Roma. Akibatnya banyak pemimpin Israel yang tergiur dan terlibat dalam
praktik-praktik ketidak-adilan demi suatu jabatan dan kekayaan, tidak
terkecuali pemimpin-pemimpin agama Yahudi.
Dari kenyataan di
atas dapat disimpulkan bahwa kekuatan-kekuatan politik yang menguasai dan
memerintah Israel. baik kerajaan Yunani, dinasti Herodes maupun kekaisaran
Roma, lebih mengedepankan kepentingan kekuasaan. Bahkan untuk tujuan ini
pemimpin-pemimpin politik dari ketiga kekuatan ini tidak segan-segan
mengorbankan rakyat.
2.
Ekonomi
Umumnya penduduk Israel hidup dari pertanian dan mayoritas
adalah petani.[20]
Tetapi semenjak penguasaan Yunani di bawah pemerintahan Alexander Agung
terbukalah suatu dunia perdagangan baru, yaitu teknik-teknik pertanian,
pertambangan dan usaha-usaha perdagangan. Memang peranan industri ini belum
seprti sekarang, karena semua dikerjakan oleh tenaga manusia. Tapi
hasil-hasilnya telah menyebabkan lahirnya pasar-pasar yang menjanjanjikan
keuntungan. Sistem barter yang selama ini dipakai dalam proses jual beli, kini
digantikan dengan mata uang.[21]
Selain itu, Roma membuat sistem jalan raya yang sangat luar biasa dengan
membangun jalan rayanya selurus mungkin. Hal ini semakin mempermudah dan
mempercepat lalu lintas perdagangan.[22]
Akibatnya lahirnya sistem perekonomian baru yang lebih
berpihak kepada penguasa dan pemilik modal, terutama yang menguasai
sumber-sumber ekonomi. Mereka ini dapat menggunakan kesempatan-kesempatan baru
untuk mendapatkan keuntungan yang terbuka lebar, seperti para pedagang, pemilik
toko, tuan-tuan tanah, para penguasa, bahkan keluarga-keluarga imam yang
menguasai Bait Allah. kelompok inilah yang kemudian disebut golongan atas. Di
tempat lain, sebagai akibat dari perkembangan ini, tenaga kerja mannusia pun
semakin dibutuhkan, baik yang berkaitan dengan teknik, pembangunan, kesenian
maupun kerajianan tangan. Kelompok ini digolongkan sebagi kelas menengah.
Sementara kelas bawah, yang mayoritas, diisi oleh penduduk desa yang biasanya
hidup hanya mengandalkan tanah. Kelompok ini disebut kaum miskin dan melarat.
Kenyataan ini semakin diperparah oleh dua hal, yaitu sistem politik penjajah
dan sistem pajak.[23]
Konsep penjajah mengenai tanah adalah setiap tanah yang direbut dengan pedang
menjadi milik pemenang. Dengan demikian kepemilikan tanah (kini) dikuasai oleh
penjajah atau tuan-tuan tanah yang kepadanya penjajah itu menjual atau
menyerahkannya. Di pihak lain, penduduk Isarel yang sebelumnya pemilik tanah
menjadi penggarap-penggarap atau penyewa tanah dan buruh harian.
Demikian juga hal dengan sistem pajak yang membebani
kehidupan ekonomi rakyat jelata. Ada dua jenis pajak yang harus dibayarkan oleh
orang-orang Yahudi. Pertama, pajak untuk Bait Allah dan para imam. Kewajiban
ini harus dilaksanakan sebgai tanda dan bukti bahwa mereka adalah orang-orang
Yahudi. Sedangkan yang kedua adalah pajak kepada pemerintah penjajah,
sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sekali lagi, kalau mereka tidak membayar
pajak tersebut, mereka diperhadapkan kepada hukuman, penjara, akan
diperjual-belikan, bahkan dijadiakan budak.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perekonomian
yang terjadi pada masa Yesus adalah perekonomian yang didasarkan pada sistem
politik tertentu yang berpihak kepada para penguasa dan pemilik modal (golongan
atas) dan membuat mayoritas rakyat menjadi miskin dan melarat.
3.
Sosial
Dunia sosial pada zaman Yesus dikuasai oleh sistem kekudusan
atau ketahiran[24],
yaitu sistem sosial yang diatur berdasarkan polaritas-polaritas kudus atau
tercemar; suci atau najis. Penilaian ini berlaku bagi setiap orang bahkan juga
tempat-tempat, benda-benda, waktu-waktu maupun kelompok-kelompo sosial. Sistem
ini melahirkan sikap pertentangan antara dua kelompok atau pihak yang
dipersepsikan sebagai yang tahir dan yang najis.
Di bidang ekonomi, orang kaya dipertentangkan dengan orang
miskin yang melarat. Orang kaya dipersepsikan sebagai orang yang tahir,
sedangkan orang miskin dipandang sebagai yang najis. Persepsi ini muncul dari
hikmat populer, yang memandang kekayaan sebagai suatu berkat Allah: orang benar
akan sejahtera. Dengan pengertian ini, orang miskin dipandang sebagai orang
yang tidak benar. Kemiskinannya dilihat sebagai akibat dari keberdosaannya.
Dengan demikian, dia (orang miskin) adalah najis.[25]
Di bidang agama orang yang menjalankan syairat-syairat
keagamaan, khususnya para imam, kaum Farisi dan ahli-ahli Taurat,
dipertentangkan dengan mereka yang sibuk dengan urusan duniawi dan yang bekerja
dalam dunia pemerintahan, khususnya pemungut cukai. Kaum agamawan dilihat
sebagai yang tahir, karena hidup di Bait Allah dan telah menjalankan
hukum-hukum keagamaan yang ketat, sedangkan pemungut cukai diperlakukan sebagai
orang berdosa. Para pemungut cukai disebut sebagai pemeras-pemeras rakyat dan
juga kaki tangan penjajah atau pengkhianat-pengkhianat negara yang seharusnya
dibinasakan. Dengan begitu hidup mereka penuh dengan kecemaran.
Di bidang kesehatan, orang sehat (utuh) dipandang sebgai
yang tahir, sedangkan orang yang cacat atau orang sakit, khusunya yang sakit
kusta dan pendaharan diperlakukan sebgai-orang-orang najis. Pemikiran ini
bersumber dari pandangan bahwa kesehatan adalah anugerah Allah, sedangkan
penyakit, khususnya penyakit kusta, kesurupan dan pendarahan, merupakan musuh
manusia karena dianggap berasal dari setan. Kaum Yahudi cenderung memandang
penyakit sebagai hukuman Tuhan. Hal sakit-penyakit seringkali dihubungkan
dengan kesalahan atau dosa, entah dosa yang bersangkutan maupun dosa orang tua
atau nenek moyang. Dengan demikian, orang sakit, khsusnya dengan kategori
kusta, kesurupan, catat dan pendarahan, dipandang sebagai yang najis.
Menyangkut jender, kaum laki-laki dipandang sebagai yang
tahir karena melambangkan Allah. sebagaimana paham Yahudi bahwa Allah
diperlakukan sebagai yang laki-laki dengan segala kelebihan dan kuasanya.
Berbeda dengan perempuan yang dipersepsikan menyimbolkan kelemahan dan
kerendahan. Nilai perempuan sangat ditentukan dan tergantung pada laki-laki,
khusunya ayahnya dan suaminya. Selain itu, dan yang terutama, kaum perempuan
sangat dekat dengan darah, baik waktu melahirkan maupun pada saat menstuasi.
Bagi orang Yahudi darah menunjuk kepada maut, sebab darah itulah yang
mencemarkan hidup, sehingga harus ditebus dengan penumpahan darah agar dapat
diselamatkan. Dengan pengertian ini kaum perempuan dipandang sebagai yang
tercemar karena dekat dengan darah.[26]
Demikian juga dalam pergaulan di tengah masyarakat. Kaum
Yahudi memandang dirinya sebagai yang benar dan kudus karena mereka adalah umat
pilhan Allah. mereka secara eklusif meyakini bahwa Allah hanya milik mereka dan
Allah hanya bertindak untuk mereka. Sementara bangsa lain adalah musuh dan akan
dihukum oleh Allah untuk kepentingan mereka juga. Karena itu mereka tidak
diperkenankan bersekutu bahkan bersentuhan dengan orang asing (bukan Yahudi)
sebab dianggap kafir atau najis.[27]
Dari uraian di atas tampak jelas bahwa kehidupan sosial pada
zaman Yesus tersusun dngan batas-batas sosial yang tajam, bahkan cenderung
mematikan nilai-nilai kemanusiaan dan mengorbankan manusia itu sendiri demi
tujuan ketahiran yang dilestarikan.
4.
Keagamaan
Kehidupan agama pada masa Yesus dicirikan oleh tiga hal,
yang semuanya melekat pada pemimpin-pemimpin agama, ahli-ahli Taurat dan kaum
Farisi.
a.
Penggembalaan diri sendiri
Dalam kisah
Injil Yesus secara terang-terangan mengancam sikap para imam, ahli-ahli Taurat
maupun Mahkamah Agama yang hanya memikirkan dan melayani kepentingannya
sendiri. Mereka adalah pemimpin-pemimpin yang seharusnya menjadi pelindung dan
penuntun umat, bukan sebaliknya malah menjadi penindas atau menjadi penjajah
baru bagi umatnya sendiri. Keluarga-keluarga imam bagsawan, misalnya sangat
menekankan persepuluhan dan pajak Bait Allah. selain itu, mereka menguasai
perdagangan di Bait Allah yang membuat mereka sangat kaya, kontras dengan
keadaan umat yang miskin dan melarat. Mereka bahkan tak segan-segan
memanipulasi hukum demi tujuan mendapatkan uang yang banyak. Para imam,
misalnya mengeluarkan fatwa bahwa setiap hasil bumi yang belum diberikan
persepuluhannya kepada imam atau ke Bait Allah, maka hasil tersebut adalah
najis.[28]
Di pihak
lain, sebaliknya sebagai gembala seharusnya mereka melayani dan mengutamakan
kepentingan umat di atas kepentingan pribadi, namun sebaliknya yang terjadi
adalah umat justru dipaksa melayani kepentingan mereka dengan
pelayanan-pelayanan khusus. Mereka menganggap diri mereka sebagai golongan yang
hebat dan terhormat. Dengan anggapan ini mereka suka duduk di tempat-tempat
yang terhormat pula serta suka menerima penghormatan di mana saja mereka
berada. Demi kehormatan dan status sosial ini mereka menciptakan dan
mlestarikan sistem ketahiran sosial yang pada akhirnya melahirkan batas-batas
sosial yang ketat dan tajam, seperti sudah dijelaskan di atas. Dengan kenyataan
ini sesungguhnya mereka menindas umatnya sendiri, khususnya penindasan jiwa dan
batin. Inilah gambaran yang disampaikan Injil bahwa unat Israel pada zaman
Yesus adalah umat yang tanpa gembala.
b.
Perkataan tanpa tindakan
Ciri yang kedua ini menegaskan agama sebagai kefasihan
kata-kata saja, entah yang bersifat homiletik atau legalistik. Intinya agama
tanpa perbuatan.[29]
Para pemimpin lebih memperlihatkan nilai kata-kata dari pada tindakan atas
kata-kata itu. Bait Allah ataupun sinagoge dimaknai hanya sebagai pusat
pengajaran dan tempat ibadah, tanpa menghubungkannya dengan kebutuhan dasar
manusia. Antara perkataan dan perbuatan tidak saling mengisi, sebaliknya saling
bertentangan. Mereka belajar kehendak Allah dan mengajar umat tentang isi
Alkitab, namun perbuatan mereka melawan kehendak Allah, bahkan cenderung
menyesatkan. Mereka menyelidiki hukum Musa secara teliti, membuat
peraturan-peraturan secara detail dan rumit, namun semua ini hanya ditujukan
kepada umat, sementara mereka sendiri terbebas dari kuk tersebut.
Padahal sebagai pemimpin (para imam dan Makhamah Agama) atau
pengajar (ahli Taurat) maupun yang menggeluti ajaran agama (kaum Farisi),
merekalah yang seharusnya yang pertama-tama menghidupi ajaran-ajaran tersebut
dan mempraktikkan, sehingga umat dapat melihat dan mengikutinya. Hal ini
menjadi berbeda sekali dengan apa yang dilakukan Yesus. Yesus tidak hanya
berkata-kata atau mengajar, tetapi justru melalui perilaku dan perbuatan-Nya,
seluruh isi dan maksud pengajaran-Nya diterangkan dan diteguhkan: Ia melakukan
penyembuhan terhadap orang yang sakit, menyentuh penderita kusta, mengusir roh
jahat, bergaul dengan mereka yang dianggap najis dan tercemar, dan lain
sebagainya.
c.
Mengutamakan hukum dan mengesampingkan
keadilan
Para pemimpin agama lebih memperhatikan dan mengutamakan
hukum-hukum atau peraturan. Hukum-hukum ini menjangkau seluruh aspek kehidupan
umat Israel, namun funsinya hanya menjadi alat untuk mengamankan kepentingan
mereka dan membuat umat semakin tunduk kepada mereka.
Mereka lebih memusatkan diri pada harafiahnya hukum dan
sangat menekankan perkara-perkara lahiriah, namun mengabaikan perkara yang
sangat penting, yaitu kasih kepada Allah dan keadilan terhadap sesama manusia.
Mereka hafal secara detail hukum, tetapi lalai terhadap keramah-tamahan dan
kemurahan hati. Mereka lebih mengutamakan hukum haris sabat dari pada menolong
orang yang berada dalam kesulitan atau bahaya. Dalam perumpamaan orang Samaria,
kelompok ini lebih mengutamakan hukum ketahiran (=takut tercemar) dari pada
menolong orang asing yang sedang sekarat. Di tempat lain, aturan atau tata cara
pembasuhan tangan sebelum makan menjadi perhatian utama, sementara hati mereka
penuh dengan kotoran atau kenajisan. Intinya, mereka memenuhi seteliti mungkin
segala peraturan dan hukum agama, namun menutup diri kepada berita Kerajaan
Allah.
Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa situasi
keagamaan pada zaman Yesus berada pada situasi yang kritis. Lembaga keagamaan
bahkan terlibat dalam penindasan umat lewat kemunafikan, kebutaan dan
kesombongan. Hal ini semakin menambah penderitaan umat yang tanpa gembala.
B.
KONTEKS
PERJAMUAN TERAKHIR
1.
Konteks Perjamuan
Di tengah kenyataan sosial “kelaparan”, sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya, Yesus sering mengikuti undangan perjamuan. Dan tidak
jarang pula Yesus menyelenggarakan perjamuan atau makan bersama dengan orang
lain. Bila dikaji secara mendalam, tampak jelas bahwa Yesus sedang melakukan
suatu hal yang baru melalui sesuatu yang lazim danbisa dilakukan serta dialami
semua orang atau komunitas, yaitu perjamuan. Melalui perjamuan, baik yang
diikuti maupun yang diselenggarakan oleh-Nya, Yesus hendak memberikan jawaban
terhadap persoalan “kelaparan” yang dialami komunitas-Nya pada waktu itu.
a.
Arti dan makna perjamuan
Perjamuan atau makan bersama, sebagai salah satu warisan
budaya dari segala bangsa, selalu bertujuan untuk menciptakan dan
mengekspresikan suatu kelompok manusia. Perjamuan, disma[ing mengandung
simbol-simbol yang kompleks, juga merupakan bentuk utama dari budaya yang
menginformasikan nilai-nilai yang sangat penting dari kelompok atau komunitas.[30]
Perjamuan lazimnya terjadi dalam perayaan dan menempatkan perhatian utama pada
partisipasi kelompok atau komunitas, di mana perayaan-perayaan itu dapat
menguatkan setiap pribadi maupun komunitas untuk mengingat peristiwa-peristiwa
khusus dan dapat menghidupkan terus-menerus makna dan nilai dari
perayaan-perayaan yang dimaksud.[31]
Suatu jamuan makan tidak hanya menyangkut makanan saja,
tetapi juga persiapan, proses, acara makan dan percakapan. Orang yang datang ke
perjamuan bukan sekedar untuk mengisi perut, walaupun tidak dapat dipungkiri
bahwa unsur kenyang termasuk hal penting dalam perjamuan. Namun demikian,
perjamuan juga mengasumsikan aspek keagamaan, yakni ciri sakramental dan aspek
sosial, yakni persaudaraan dan cinta kasih.[32]
“Yang makan ialah keseluruhan jiwa raganya, dambaan dan cita-citanya.
Keseluruhan pribadi dan riwayat hidup serta suasana jiwanya ikut makan dan
memberi arti kepada makan.”[33]
Jadi, perjamuan atau makan bersama adalah sarana atau
lambang yang paling mulia untuk menghayati dan mengekspresikan nilai-nilai
kemanusiaan dan harapan-harapan tentang hidup.
b.
Perjamuan dalam Alkitab
Dalam tradisi Alkitab, jamuan makan atau makan bersama
sering dilakukan, baik dalam tradisi sosial (seperti: kelahiran, pernikahan,
kemenangan atau keberhasila, ulang tahun, kematian, dll.), maupun dalam tradisi
keagamaan. Perjamua biasanya menjadi bagian penutup dari upacara-upacara
pengorbanan dan persembahan ritual yang melambangkan persekutuan dengan Yang
Ilahi.[34]
Perjamuan dihayati dan diselenggarakan sebagai upacara keagamaan sekaligus
mengandung makna sosial, karena tidak hanya memberikan makanan bagi tubuh,
tetapi juga bagi jiwa dan menyangkut orang lain. Melalui perjamuan, khususnya
perjamuan keagamaan, umat Israel mengingat perjanjian Allah dengan mereka dan
sekaligus diingatkan agar mereka menghidupi dan melaksanakan isi perjanjian
tersebut. Dengan pengertian ini, perjamuan memainkan peran penting dalam
menyatakan dan memateraikan hubungan Allah dengan umat-Nya yang kemudian
diimplementasikan dalam hubungan antara satu dengan yang lain. “Perjamuan ini
menegaskan tindakan Allah bagi kepentingan umat Israel dan mengingatkan mereka
untuk melanjutkan berkat ilahi ini melalui ketaatan mereka pada kehendak-Nya.”[35]
Dalam Perjanjian Lama, perjamuan utama yang monumental
adalah perjamuan Paskah(Keluaran 12).
Perayaan ini, dikemudian hari, disatukan dengan Hari Roti Tidak Beragi.[36]
(Lebih dalam mengenai Perjamuan ini akan dibahas kemudian).
Perayaan lain yang juga penting adalah perayaan Pentakosta
(hari kelimapuluh setelah paskah dari Hari Roti Tidak Beragi), yakni perayaan
musim panen yang kemudian hari dihubungkan dengan Perjanjian Sinai atau
pemberian Hukum Taurat yang diikat dengan darah dan berlangsung dalam perjamuan
di hadapan Allah (Keluaradn 24:1-11). Perjamuan itu merupakan perayaan
persahabatan antara satu dengan yang lain dan dengan Allah sendiri.[37]
Perayaan Tahun Sabat,
setiap tahun ketujuh, dirayakan dengan perjamuan. Perayaan ini adalah perayaan
iman Israel bahwa Tanah adalah anugerah Allah kepada umat-Nya. Dalam konteks
iman Israel, tanah, seperti manusia, adalah kudus. Karena itu, tanah juga harus
mendapat perhatian, yakni diberi istirahat atau berhenti untuk beberapa waktu
(Keluaran 16:5; Imam 25:4). Selain menyangkut kepentingan tanah, perayaan ini
juga adalah untuk kepentingan manusia. Pada tahun ketujuh semua budak-budak
Israel harus dibebaskan sebagai orang merdeka (Keluaran 21:2-6). Orang Israel
harus membiarkan tanah begitu saja agar orang-orang miskin bahkan
binatang-binatang dapat makan dengan bebas dari apa yang dihasilkan tanah
(Keluaran 23:10-11; Imamat 25:6). Selanjutnya, orang Israel yang berpiutang
harus mengadakan penghapusan hutang kepada sesamanya (Ulangan 15:1-6).[38]
Jadi, perayaan ini bertujuan untuk memperingati penciptaan
dunia dan olehnya umat Isarel dipanggil untuk mempedulikan orang-orang miskin,
para budak, dan orang asing melalui hasil ladang dan kebun anggur mereka
sebagai tanggapan mereka terhadap karunia Allah.[39]
Perayaan tahun Yobel (= freedom, liberty), dirayakan setiap
tahun kelima puluh dan merupakan penyelesaian dari seri tahun-tahun sabat.
Kekhususan perayaan ini hanya tersedia dalam peraturan imam ( Imamat 25:8-55;
27:17-24).[40]
Perayaan ini merupakan tahun atau perayaan pembebasan. Disebut perayaan
pembebasan karena pada perayaan ini setiap harta milik maupun tanah yang
dulunya dibeli atau dimiliki dengan cara apapun, harus dikembalikan kepada
pemilik aslinya. Bahakan para budak pun harus dibebaskan menjadi manusia bebas
dan bermartabat. [41]
Seperti
pada Perjanjian Lama, Perjamuan dalam Perjanjian Baru juga berlangsung dalam
ciri sosial maupun keagamaan. Namun perhatian difokuskan pada perjamuan yang
diikuti dan diselenggarakan oleh Yesus bersama komunitasnya. Kitab Injil
menginformasikan bahwa Yesus acapkali menghadiri undangan jamuan makan.
Kehadiran Yesus dalam perjamuan-perjamuan sebagaimana dilaporkan oleh Injil,
bukan hanya sekedar untuk mengisi perut atau menikmati lezatnya makanan. Lebih
jauh dari itu, melalui konteks perjamuan atau makan bersama, Yesus sedang
memperkenalkan dan membangun kehidupan dengan cara hidup yang baru, yakni hidup
dalam kerajaan Allah. dalam kaitan dengan yang terakhir ini, perjamuan
seringkali menjadi latar belakang pengajaran Yesus tentang hal-hal yang
penting. Di tempat lain, Yesus, dengan sadar dan sengaja, menjadikan perjamuan
sebagai konteks pewahyuan diri-Nya. Dengan demikian, perjamuan juga merupakan
bagian penting dari pewartaan Yesus tentang Kerajaan Allah.[42]
Beberapa
kisah perjamuan yang diikuti dan dikerjakan Yesus diuraikan secara singkat
serta dengan arti dan maknanya.
Perjamuan di Kana (Yohanes 2:1-11).
Perjamuan ini adalah perjamuan kawin yang berlansung di kota Kana. Yesus hadir
bersama Maria ibu-Nya dan juga murid-murid-Nya. Pesta kawin menghadapi
persoalan karena kehabisan anggur. Kemudian ibu Yesus memohon kepada Yesus
untuk melakukan sesuatu. Ia pun membuat air menjadi anggur. Lebih dari itu,
anngur yang ajaib ini adalah anggur yang lezat yang membuat para tamu bahkan
tuan rumah sendiri terheran-heran karena kelezatannya. Makana Perjamuan Kawin
ini adalah penyataan kemulian Kristus yang nampak dalam belas kasihan, kebaikan
dan pengertian-Nya yang mendalam terhadap persoalan manusia lewat peristiwa
tanda ajaib. Dalam peristiwa ini, Ia menolong dan menyelamatkan tuan rumah itu
dari kejatuhan dan rasa malu.[43]
Perjamuan di Rumah Matius (Matius
9:9-13). Yesus memanggil Matius menjadi murid-Nya. Dan Matius menanggapinya
dengan sepenuh hati. Karena sukacitanya atas panggilan dan perkenanan Yesus
memanggilnya, ia menyelenggarakan perrjamuan bersama Yesus dengan mengundang
para pemungut cukai dan orang-orang berdosa. Kehadiran Yesus dalam perjamuan
ini mendapat kritikan tajam dari orang Farisi, tapi Yesus menjawab kritikan
mereka dengan berkata: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang
sakit .......” Perjamuan ini menegaskan solidaritas Yesus dengan mereka yang
ditolak dan dipinggirkan atau dianggap hina.[44]
Hal ini merupakan ungkapan keterbukaan Yesus untuk menerima semua orang ke
dalam Kerajaan Allah termasuk orang-orang yang bukan Yahudi.
Perjamuan di Rumah Pemimpin Farisi (Lukas
14:1-6). Perjamuan ini berlangsung di rumah salah seorang pemimpin dari
orang-orang Farisi. Tiba-tiba seorang yang menderita penyakit busung lapar
masuk ke tengah perjamuan dan berdiri di hadapan Yesus. Kemudian Yesus
menyembuhkan orang tersebut. Peristiwa ini sungguh membuat ahli-ahli Taurat dan
orang-orang Farisi marah dan dongkol, karena hari itu adalah hari Sabat.
Melalui kenyataan ini Yesus bukan saja memberi pengertian baru tentang hari
Sabat, tetapi juga mengukuhkan hubungan antara perjamuan dengan penyembuhan
atau pemulihan. Yang hendak dikatakan oleh perjamuan ini adalah agar orang yang
makan tidak hanya memeikirkan dirinya sendiri tetapi juga memedulikan mereka
yang hidup dalam kekurangan, kesulitan,
kesulitan dan kelaparan dalam berbagai bentuknya.[45]
2.
Perayaan Paskah
Paskah adalah peristiwa keluaran orang Israel dari
perbudakan Mesir. dalam peristiwa ini Allah bertindak sebagai Pembebas dan
Penyelamat. Di satu sisi, Allah menghancurkan Mesir dengan membunuh setiap anak
sulung dari keluarga Mesir dan melenyapkan tentara Mesir yang berusaha mengejar
orang Israel untuk di bawa kembali ke Mesir. Di sisi lain, Allah mengeluarkan
orang Israel dari penjajahan Mesir dan menuntun mereka menuju tanah perjanjian
sebagai umat-Nya dan bangsa yang
merdeka.
a.
Perayaan Paskah dan perkembangannya
Perayaan Paskah memiliki keterkaitan dengan Hari Roti Tidak
Beragi. Memang keduanya pada dasarnya adalah dua perayaan yang terpisah,[46]
namun tidak dibedakan secara tajam, karena kedua perayaan yang tersebut jatuh
pada waktu yang bersamaan. Perayaan paskah jatuh pada hari keempatbelas bulan
itu, di mana korban domba Paskah mengambil tempat, sementara Hari Roti Tidak
Beragi dimulai pada hari setelah malam Paskah dan itu berlangsung selama tujuh
hari. Namun di kemudian hari kedua perayaan itu disatukan, sehingga perjamuan
Paskah itu sendiri adalah juga perjamuan Roti Tidak beragi (Keluaran 12:8; dan
penyebutan “Paskah” digunakan juga untuk hari-hari perayaan Roti Tidak Beragi
(Ulangan 16:1-8).
Peristiwa pembebasan (Paskah) berawal dari teriakan orang
Israel karena penindasan dan penderitaan yang dilakukan oleh Mesir. Allah
mendengar teriakan mereka karena mengingat perjanjian-Nya dengan nenek moyang
mereka, yaitu Abraham, Ishak dan Yakub (Keluaran 2:24). Kemudian Allah mengutus
Musa dan Harun kepada Firaun untuk menyampaiakan maksud dan tujuan Allah, agar
Mesir membiarkan orang Israel pergi untuk beribadah kepada Tuhan Allah di
padang gurun (Keluaran 5:1).[47]
Namun Firaun menolak bahwa melawan Tuhan Allah dengan memperberat penindasan
atas orang Israel. Atas perlakuan ini dan demi memenuhi janji-Nya kepada
Abraham, Ishak dan Yakub, Allah melakukan pembebasan dan penyelamatan. Allah
menyatakan kuasa dan keadilan-Nya. Pertama-tama, Allah menetapkan peraturan
Paskah, lalu menyuruh Musa mempersiapkan orang Israel untuk pembebasan dan
penyelamatan mereka (Keluaran 12-13).
Yang tampak adalah suasana perang: tegang, karena harapan untuk segera bebas begitu tinggi, namun
masih harus menunggu; siap sedia,
karena pembebasan akan segera dimulai; buru-buru,
karena waktunya mendesak dan tidak ada waktu untuk yang lain. Dalam suasana
inilah ibadah Perjamuan Paskah pertama kali dilakukan oleh orang Israel pada
petang pembebebasan mereka dari perbudakan Mesir.
Pada waktu-waktu kemudian, perayaann Paskah mengalami
perkembangan. Darah domba tidak lagi menjadi ciri kelepasan yang dioleskan di
ambang pintu. Cara mengelola korban dan cara makan tidak lagi dibakar atau
dipanggang, tetapi dimasak. Demikian pun dengan cara makan tidak lagi
tergesa-gesa, tetapi lebih kepada suasana santai dan disertai
percakapan-percakapan. Bahkan setelah pembaharuan raja Hizkia dan Yosia,
perayaan Paskah sebagai upacara rumah tangga berubah menjadi perayaan kerajaan
yang di pusatkan di Bait Allah di Yerusalem. Perayaan ini mengalami ketidak-jelasan,
baik eksistensinya maupun pelaksanaannya, setelah Bait Allah di hancurkan dan
bangsa Israel dibuang ke Babilonia. Kenyataan ini berlangsung sampai mereka
keluar dari pembuangan (Keluaran kedua).[48]
Pada zaman Perjanjian Baru, setelah Bait Allah dibangun
kembali dan hingga penghancurannya, perayaan Paskah adalah perayaan peziarah.
Perayaan tetap diselenggarakan di Bait Allah di Yerusalem. Perayaan ini terdiri
dari dua bagian. Pertama, ritual penyembelihan binatang korban Paskah di
pelataran Bait Allah dengan menyiramkan darah korban ke atas altar Bait Allah
oleh Imam. Binatang korban dapat dibeli di pusat perdagangan binatang dan
tukar-menukar uang yang pada saat itu ditempatkan di pelataran Bait Allah,
tempat di mana orang-orang non-Yahudi diberi ruang utuk beribadah (Matius
21:12). Yang kedua, adalah perjamuan makan yang diadaka di setiap rumah di
Yerusalem. Kalau tuan rumah para peziarah yang hendak melaksanakan perjamuan
Paskah tidak memilki rumah di Yerusalem, maka mereka boleh mengunakan “ruangan”
(Markus 14:15).[49]
Dalam perkembangan berikutnya, setelah Bait Allah dihancurkan pada tahun 70,
perayaan paskah kembali menjadi perayaan rumah tangga tanpa korban anak domba.
Namun satu hal yang tetap adalah Paskah ini dirayakan setiap
tahun secara turun- temurun untuk mengingat bahwa Tuhan Allah telah membebaskan
dan menyelamatkan mereka dari perbudakan Mesir dan menjadikan mereka sebagai
umat-Nya dan bangsa yang merdeka. Oleh perayaan ini mereka diyakinkan bahwa
Tuhan Allah yang sama akan terus-menerus melepaskan mereka dari berbagai
kekuatan yang membuat mereka menderita atau tertindas.
b. Ritus
perayaan Paskah dan unsur-unsurnya[50]
b.1. Ritual sebelum perjamuan
-
Pada pagi hari, setiap ragi harus
dibuang, lalu kemudian sebagai penyelesaiannya dilaksanakan ritual pembakaran
ragi oleh imam.
-
Sekitar pukul tiga sore, binatang
korban paskah disembelih di Bait Allah oleh setiap orang yang memeprsembahkan
korban, sementara beberapa imam menyanyikan Hallel
-
Setelah penyembelihan, para imam
menyiramkan darah binatang korban ke atas altar besar lalu membakar lemak di
atas altar. Ritual menyiram atau memercikkan darah ke atas altar besar adalah
inti dari tindakan korban yang berfungsi sebagai ritus untuk melindungu atau
pengganti untuk anak sulung.
b.2. Ritual Perjamuan
-
Setelah berkat, kepala keluarga atau
tuan rumah membuak perjamuan dengan mengedarkan cawan anggur pertama yang
disebut cawan kiddush, diikuti dengan
menikmati hidangan pembuka berupa sayuran hijau, sayuran pahit dan sari/jus
buah-buahan.
-
Paskah Hagadah,[51]
setelah anak bungsu atau anggota yang paling muda bertanya tentang arti dari
perayaan tersebut, kepala keluarga atau tuan rumah menjelaskan sejarah
pembebasan Israel dari perbudakan di Mesir yang disimbolkan melalui jenis-jenis
makanan yang ada di meja, kemudian seluruh hadirin menyanyikan hallel bagian pertama (=Mazmur 113-114), dan beredarlah cawan
anggur kedua yang disebut cawan hagadah.
-
Setelah berkat adalah jamuan utama yang
terdiri dari daging anak domba Paskah, roti tidak beragi, sayuran pahit dan sari
buah-buahan. Di sinilah perjamuan sebenarnya dimulai. Kepala keluarga mengambil
roti dan mengucapkan berkat atasnya lalu membagikannya kepada setiap yang
hadir. Kemudian cawan anggur ketiga, yang disebut cawan berkat, diedarkan.[52]
-
Sebagai penutup, seluruh yang hadir
menyanyikan hallel bagian kedua (Mazmur 115-118), kemudian ditutup dengan
peredaran cawan keempat yang disebut cawan hallel.
c.
Makna perayaan Paskah
Perayaan Paskah merupakan perayaan tentang penyelamatan dan
pembebasan Israel dan transformasi diri mereka menjadi umat kepunyaan Allah.
paskah sebagai perayaan memiliki empat arti.[53]
Yang pertama adalah pembebasan.
Peristiwa Paskah adalah kisah di mana Allah membebaskan bangsa Israel dari
penindasan Mesir. pembebasan ini adalah perwujudan dari kebenaran dan keadilan
Allah. melalui peristiwa ini, dalam keyakian Israel, Allah adalah Allah
Pembebas yang berpihak kepada orang-orang yang ditindas dan dipinggirkan secara
sosial. Perayaan paskah mengingatkan bangsa Israel bahwa mereka dahulu adalah
orang-orang yang pernah mengalami perbudakan di Mesir dan kemudian dibebaskan
oleh Allah. karena itu, mereka tidak dibenarkan memperbudak dan menindas orang
lain, sebaliknya mereka harus terlibat dalam pembebasan Allah bagi
keadilan-Nya. Keadilan yang dimaksudkan di sini adalah usaha untuk memerdekakan
orang dari setiap kuasa-kuasa yang menindas dan membelenggu, termasuk kuasa
yang membuat ketergantungan antara yang satu kepada yang lainnya.
Yang kedua adalah hubungan.
Peristiwa Paskah menegaskan tentang inisiatif Allah dalam melahirkan sebuah
bangsa (dalam hal ini bangsa Isarel) kepada kehidupan yang baru. Isi kehidupan
yang baru ini adalah suatu hubungan mereka dengan Allah, yakni hubungan antara
mereka sebagai umat yang bebas maupun hubungan dengan generasi yang akan
datang. Pengalaman ini merupakan yang pertama mereka alami sebagai umat yang
disatukan di hadapan Allah. ini berarti seluruh umat Israel dapat dan
seterusnya akan terlibat serta berpartisipasi dalam kehidupan mereka sebagai
umat Allah. tidak ada yang terpingirkan atau dianggap tidak bernilai. Selain
itu, hubungan baru ini mengikat mereka menjadi satu kesatuan dan saling
mempedulikan satu dengan yang lain sebagai terjemahan dari “mereka makan daging
domba bersama dengan yang lain”, dan bukan perjamuan pribadi (Keluaran 12:3-4).
Yang ketiga adalah pembaharuan.
Selain domba paskah, umat Israel diharuskan membuang ragi dan diperintahkan
makan ragi yang tidak beragi. Motif larangan dan perintah ini adalah pengudusan
dan pembaharuan. Tafsiran yang dapat dikemukaklan terhadap hal ini adalah
mereka diharuskan meninggalkan “Mesir”, yakni kehidupan yang lama dan prnuh
dosa (sebagai arti lain dari membuang ragi), lalu kemudian mengenakan kehidupan
baru, yaitu ketaatan dan kesetiaan pada Allah serta seluruh ketetapan-Nya. Umat
Israel harus meninggalkan kehidupan yang lama seperti yang terjadi di Mesir.
Mereka harus ikut serta dalam usaha Tuhan untuk keselamatan mereka dan melayani
Dia menurut rencana dan ketetapan-Nya.[54]
Yang keempat adalah peringatan.
Allah memerintahkan agar perayaan Paskah dirayakan sebagai peringatan(Keluaran
12:14). Arti Paskah sebagai peringatan menunjuk pada apa yang telah dilakukan
Allah bagi umat Israel pada peristiwa pembebasan dari Mesir. implikasinya
adalah umat Israel diharuskan memberlakukan arti dan makna Paskah, yaitu
penyelamatan dan pembebasan dalam realitas hidup mereka. Perayaan Paskah
menjadi sejati dan benar bila keajaiban Paskah diterjemahkan dan diaktualkan
secara terus menerus ke dalam masa depan sebagai realitas hidup. Ini berarti
bahwa umat Israel selaku Umat Allah harus membagi keajaiban ini dan membuatnya
hidup bagi generasi yang akan datang.
Inilah ibadah atau perayaan Paskah bagi Tuhan Allah, tidak
terkecuali Paskah yang dirayakan Yesus. Hanya saja pada Perjamuan Terakhir
Yesus bersama murid-murid-Nya dalam rangka perayaan Paskah, Ia menafsirkan
perjamuan Paskah dengan merujuk kepada diri-Nya sendiri, yakni seluruh hidup,
penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya, tidak lagi mengarahkan perhatian ke
masa lampau di Mesir. Dalam terang inilah Yesus disebut sebagai Anak Domba atau
Domba Paskah Allah.
3.
Penyucian Bait Allah
Kisah demonstrasi di Bait Allah secara serentak dicatat oleh
keempat penulis kitab Injil. Keempat penulis Injil sepakat bahwa peristiwa ini
terjadi setelah Yesus masuk ke Yerusalem dalam rangka mengikuti perayaan Paskah
tahunan Yahudi dan sebelum Perjamuan Terakhir dilangsungkan (Matius 21: 12-17;
Markus 11:15-19; Lukas 19: 45-48; Yohanes 2: 13-16). Peristiwa demontrasi di
Bait Allah, dalam Injil Sinoptik, memiliki keterkaitan dengan
peristiwa-peristiwa lain, seperti Yesus mengutuk pohon ara karena tidak menghasilkan
buah (Matius 21: 18-22; Markus 11: 12-14. 20-26); perumpamaan tentang
penggarap-penggarap kebun anggur (Matius 21: 33-35; Markus 12 :1-12; Lukas 20:
9-19) yang dialamatkan kepada pemimpin-pemimpin agama Yahudi; percakapan Yesus
dengan orang Saduki dan kaum Farisi, kemudian diikuti oleh celaan Yesus secara
khusus kepada para ahli Tuarat (Matius 22,23; Markus 12; Lukas 20). Sementara
dalam Injil Yohanes, peristiwa di Bait Allah diintegrasikan dengan perkataan
Yesus tentangf penghancuran Bait Allah (2:19-22) yang dalam Injil Matius dam
Markus ditempatkan pada saat Yesus di hadapan Mahkama Agama sebelum peristiwa
penyaliban (Matius 26:61; Markus 14:58).
Istilah “penyucian” Bait Allah memiliki keterkaitan dengan
persiapan paskah. Biasanya seminggu sebelum perayaan Paskah dilakukan ritus
penyucian diri sebelum mengambil bagian dalam perayaan tersebut. Bagi mereka
yang tidak menjadi suci di percik dengan air untuk pengudusnan dan itu di
lakukan pada hria ketiga peristiwa penyucian diri sedang berlangsung. Namun
demonstrasi di Bait Allah ini bukan untuk menyucikan Bait Allah.[55]
tindakan ini lebih menjelaskan bahwa ritus pengudusan, seminggu sebelum
perayaan paskah, dijadikan Yesus sebagai konteks dari tindakan-Nya untuk menyampaikan maksud dan tujuan-Nya berkaitan
dengan Bait Allah yang di dalamanya ( sistem korban )dilangsukangkan dan para
Ima, bertindak sebagai pelayanan.
Demonstrasi ini adalah tindakan simbolik Yesus dengan Bait
Allah dan nubuatan-Nya mengenai akhir dari Bait Allah, bukan permainan kekuasaan
untuk mengambil alih Bait Allah.[56]
Intinya, tindakan penyucian ini lebih menegaskan hubungan antara Yesus sebagai
Mesias dan Bait Allah.
a.
Yesus mengkritik kultus di Bait Allah
Setelah Yesus menjungkir-balikan meja-bangku dan mengusir
para pedagang dan pembeli yang ada di pelataran Bait Allah, Ia berkata:
“Bukankah ada tertulis: Rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa?
Tetapi kamu telah menjadikannya sarang pemyamun!” (Markus 11:17). Alamat dari
penyataan ini adalah pemimpin agama, yakniimam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat
(Markus 11:18). Di mana Yesus, merekalah yang menjadikan Bait Allah sarang
penyamun dengan mengijinkan aktivitas perdagangan atau komersial di pelataran
Bait Allah yang seharusnya adalah tempat
bagi orang-orang non-Yahudi untuk ikut beribadah di Bait Allah, sebagaimana di
aatur dalam hukum.[57]Perkataan
Yesus yang menyebutkan “Bait Allah sebagai rumah doa bagi segala bangsa”, yang dikutip dari Yesaya 56:7 dan “sarang
penyamun”, yang dikutip dari Yeremia 7:11, menjelaskan tindakan demonstrasi-Nya
menentang penyalah-gunaan Bait Allah oleh pemimpin-pemimpin agama dan
penyalah-gunaan panggilan mereka sebagai pelayan di Bait Allah, tetapi juga
karena mereka mengubah pelataran Bait Allah sebagai tempat berbisnis (pasar)
untuk mendapatkan keuntungan, terutama keuntungan finansial.[58]
Keuntungan yang merekadapat tidak hanya dari “pajak” jual beli korban binatang,
tetapi juga “komisi” dari transaksi tukar-menukar uang.[59]
Jadi, yang dicela dan diserang oleh Yesus, melalui demonstrasi-Nya di Bait
Allah, bukan praktik korban, tetapi lebih kepada sistem korban[60]
yang telah terkontaminasi oleh keuntungan-keuntuangan ekonomi atau bisnis (profit).[61]
Hal ini demikian Aulen menegaskan, merupakan pelangaran terhadap hukum
kekudusan Bait Allah.[62]
Selain mencela kepemimpinan Bait Allah dan penduniawian Bait Allah, Yesus juga
memproklamasikan pemenuhan nubuatan Yesaya: bahwa orang-orang yang bukan Yahudi
juga memiliki akses kepada Allah Israel.[63]
Hal ini diperkuat perbuatan Yesus yang menyembuhkan mereka sebelumnya dibuang
dari Bait Allah, yakni orang-orang buta dan orang-oragn timpang (Matius
21:14-17).[64]
Karena Bait Allah merupakan pusat kehidupan agama (ibadah),
politik, sosial dan kepemimpinan Yahudi di bawah kekuasaan Roma, maka
demonstrasi Yesus di Bait Allah dimaksudkan untuk melawan sistem kekuasaan
politik maupun agama[65]
yang tidak melayankan kehadiran dan kerahiman Allah bagi pembebasan,
keselamatan dan kesejahteraan umat.[66]
b. Akhir
dari Bait Allah
Demonstrasi Yesus di Bait Allah, selain protes atau kritikan
Yesus atau kultus Bait Allah, juga tindakan simbolik yang menubuatkan
kehancuran atau berakhirnya Bait Allah dan digantikan dengan Bait Allah yang
baru.[67]
Penafsiran ini dikaitkan dengan tindakan Yesus yang mengutuk pohon ara (Matius
dan Markus) dan nubuatan Yesus tentang kehancuran Bait Allah (Yohanes). Dalam
Injil Sinoptik, pernyataan Yesus: “tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun”
dan tindakan-Nya mengutuk pohon ara, demikian Matera menyebutkan,
“mengindikasikan bahwa nasib Bait Allah telah dimeteraikan.”[68]
Seperti pohon ara yang tidak berbuah, Bait Allah juga tidak menghasilkan buah,
di mana setiap orang, termasuk orang-orang non-Yahudi, tidak dibawa atau
dituntun kepada Allah untuk mengalami kerahiman-Nya yang membebaskan dan
menyelamatkan (= rumah doa bagi segala bangsa). “Karena itu, seperti pohon ara
yang dikutuk, demikian Bait Allah akan layu dan mati.”[69]
Hal ini diperkuat, demikian Matera menambahkan, oleh “larangan” Yesus yang
tidak memperbolehkan orang membawa barang-barang (anything = skeuos) melintasi Bait Allah (Markus 11:16), sebagai
sesuatu yang mengindakasikan bahwa kultus di Bait Allah tiba pada akhirnya.[70]
Namun nubuatan penghancuran ini, bukan penolakan Allah
terhadap umat Israel, tetapi lebih kepada pemimpin-pemimpin mereka yang menyalahkan
fungsi atau peranan Bait Allah dan panggilan mereka sebagai
pelayan-pelayan-Nya. Hal ini dipertegas kembali melalu perumpamaan tentang
penggarap-penggarap kebun anggur dak kritikan Yesus terhadap orang-orang
Saduki, kaum Farisi dan para ahli Taurat.[71]
Sementara dalam Injil Yohaens, terdapat dua ide yang berbeda dan dibawa ke
dalam suatu harmoni. Ide pertama menyangktu Bait Allah yang aktual, yang secara
absolut disebutkan dalam konteka, yakni Bait Allah yang di Yerusalem. Ide kedua
adalah penafsiran penginjil tentang Bait Allah yang dirujuk kepada tubuh
Kristus (2:21). Dasar harmoni ini adalah konsepsi tentang Bait Allah sebagai
tempat atau tanda kehadiran Allah di antara umat-Nya. Bait Allah Yerusalem
adalah tempat kehadiran Allah di mana umat Israel dan non-Yahudi dapat
dijumpai-Nya, sedangkan di dalam diri Yesus Kristus kehadiran Allah secara
penuh dinyatakan dengan sempurna dan setiap orang boleh melihat dan
mengalaminya.
Lebih jauh
Westcott menjelaskan:
Di satu sisi, penolakan dan kematian
Kristus, dalam nama berdiam kepenuhan Allah, membawa bersamanya kehancuran Bait
Allah [Yerusalem yang dibangun selama empat puluh tahun dan dihancurkan oleh
Roma pada tahun 70 M]. Di paihak lain, kebangkitan Kristus, setelah tiga hari
kematian, merupakan pembangunan kembali Bait Allah, restorasi yang menyeluruh
dan sempurna dari tabernakel kehadiran Allah kepada manusia yang dihidupkan
terus-menerus dalam gereja yang adalah Tubuh Kristus……….kebangkitan Kristus
sesungguhnya adalah transfigurasi ibadah, sementara ibadah adalah transfigurasi
Kehidupan.[72]
Carson
juga menyebutkan hal yang sama. Melalui penafsirannya atas Injil Yohanes, ia
mengatakan bahwa tindakan Yesus menyucikan Bait Allah bertujuan untuk
menyatakan bahwa Dialah pengganti Bait Allah dan pemenuh dari segenap tuntutan
dan tujuannya.[73]Di
tempat lain, Theissen-Merz menambahkan, nubuatan tentang kehancuran Bait Allah
merupakan tafsiran atas tindakan simbolik Yesus, yang disebut ‘penyucian Bait
Allah’, di mana isunya bukan mengenai pembaharuan Bait Allah pada waktu itu,
melainkan berakhirnya Bait Allah bersama-sama dengan dunia yang fana ini.[74]
Sedangkan pembangunan kembali Bait Allah yang baru, yang tidak dibangun dengan
tangan manusia, adalah gereja atau komunitas Kristen, kepada siapa para
penginjil mengalamatkan suratnya. Gereja, yang tidak lain adalah Tubuh Kristus,
tidak hanya terdiri dari orang Yahudi, tetapi juga non-Yahudi, bahkan dari
segala bangsa.[75]
c.
Hubungannya dengan Perjamuan Terakhir
Tindakan
dan perkataan Yesus berkaitan dengan Bait Allah, yang bertujuan menantang
secara fundamental kepemimpinan Yerusalem, membawa ingatan pada Perjamuan
Terakhir.[76] Perihal
demonstrasi Yesus di Bait Allah dan kaitannya dengan Perjamuan Terakhir, Dunn,
dengan mengutip pendapat Theissen-Merz dan Chilton menjelaskan:
Dia [Yesus] memaksudkan bentrokan
[demonstrasi di Bait Allah] bukan hanya dengan pemimpin-pemimpin Israel, tetapi
juga dengan keseluruhan Bait Allah termasuk ibadahnya. Firman dan tindakan-Nya
dalam Bait Allah mendeklarasikan akhir dari Bait Allah. Firman dan tindakan-Nya
di ruangan atas [Perjamuan Terakhir] mendeklarasikan permulaan dari penggantian
kultus atau Ibadah di Bait Allah, di mana roti menggantikan binatang korban,
sebuah perjanjian baru tanpa korban……… sebab “tubuh” dan “darah” adalah istilah
yang bertalian dengan hal berkorban dan mengindikasikan bahwa Perjamuan itu
sendiri dipahami sebagai korban, yang sesungguhnya jauh lebih baik dari
korban-korban yang sesungguhnya jauh lebih baik dari korban-korban yang
dipersembahkan di Bait Allah Kayafas yang korup. Dengan kata lain, Yesus [dalam
Perjamuan Terakhir] sedang menetapkan ibadah alternative; roti dan anggur
menggantikan korban di Bait Allah.[77]
Jadi, demonstrasi di Bait Allah, yang
mengkritik Bait Allah secara teologis; baik tindakan melawan ibadah Bait Allah
maupun nubuatan tentang kejatuhannya, menjadi konteks Perjamuan Terakhir.
Perjamuan Terakhir sebagai ibadah alternatif, ibadah yang baru, merupakan suatu
ikrar tentang makan dan minum dalam Kerajaan Allah yang segera datang. Ibadah
alternatif, yang disimbolkan melalui Perjamuan makan yang sederhana ini, bukan
hanya sebagai pengganti ibadah di Bait Allah, tetapi merupakan penafsiran Yesus
tentang kematian-Nya sebelum peristiwa penyaliban dan kematian itu terjadi.
Dengan konteks ini, Yesus memahami kematian-Nya sebagai suatu korban.[78]
Selanjutnya, Perjamuan Terakhir sebagai
ibadah baru yang menggantikan Bait Allah, demikian Chilton menegaskan,
sebagaimana dikutip oleh Dunn, “harus merenspon perkataan “tubuh-Ku” dan
“darah-Ku” ke dalam ide roti sebagai tubuh Yesus (sebagai pengganti dari daging
binatang korban) dan anggur sebagai darah Yesus (sebagai pengganti darah
binatang korban).”[79]
Namun, demikian Dunn menyimpulkan, “hubungan yang sesungguhnya di antara
Perjamuan Terakhir dan protes Yesus terhadap Bait Allah diperoleh dengan
memahami hubungan antara Perjamuan Terakhir dan kematian Yesus.”[80]
C.
ROTI
DAN KELAPARAN
Dalam Akitab, khususnya dalam konteks
pengajaran Yesus, roti atau makanan selalu dihubungkan dengan kelaparan manusia
dalam arti luas. Roti tidak hanya merujuk pada kehidupan jasmani saj, tetapi
juga kehidupan rohani. Artinya, roti tidak hanya mengisi perut atau memenuhi,
kelaparan secara fisik, tetapi juga menyangkut kebutuhan-kebutuhan hidup
manusia yang mendasar. Roti berkaitan denga Allah dan manusia. Di sinilah
hubungan ibadah dengan roti.
Untuk menjelaskan maksud ini, penulis
menganalisa dua topik penting yang diajarkan oleh Yesus, yakni Doa Bapa Kami,
khususnya permohonan: Berikanlah kami
pada hari ini makanan kami yang secukupnya, dan kisah pemberian makan 5000 orang.
1. Berdasarkan kami pada hari ini makanan yang yang secukupnya
(Matius 6:11)
a. Doa Bapa Kami
Permohonan,
Berikanlah kami pada hari ini makanan
kami yang secukupnya, adalah permohonan keempat yang terdapat dalam Doa
Bapa Kami, yang diajarkan oleh Yesus kepada murid-murid-Nya. Doa ini adalah doa
yang sangat popular dan umum dikenal serta dipraktikkan oleh gereja. Hamir di
setiap ibadah, khususnya ibadah Minggu, doa ini selalu diucapkan. Berbagai
penafsiran tentang doa ini telah dilakukan. Gerald Herd menafsirkannya sebagai
doa yang paling sederhana namun mengandung pengakuan iman yang sempurna tentang
Kristus.[81]G.A.
Studdert Kennedy melihatnya sebagai doa tentang kepedulian Allah terhadap
persoalan manusia.[82]
Sementara Agus Suryana dan I. Suharyo menyebutnya sebagai doa permohonan akan
kedatangan Kerajaan Allah di dunia ini.[83]
Dan Leonardo Boff menyebutnya sebagai doa tentang pembebasan manusia yang
seutuhnya.[84]
Bila
diperhatikan secara seksama, Doa Bapa Kami menampilkan dua keprihatinan dalam
dua arah gerak yang bersinergi, yaitu keprihatinan Allah dan keprihatinan
Allah, yakni kekudusan nama-Nya, kerajaan-Nya dan kehendak-Nya. Yang kedua,
Allah tertarik bahkan peduli akan kebutuhan-kebutuhan dan persoalan-persoalan
yang dihadapi oleh manusia. Namun hal ini tidak berarti bahwa ketika manusia
memperhatikan kepentingan Allah, maka Allah akan memedulikan
persoalan-persoalan manusia. tetapi yang mau dikatakan adalah bahwa Allah tidak
hanya memperhatikan kepentingan-Nya, tetapi juga pergumulan dan persoalan
manusia, yakni roti, pengampunan, pencobaan dan kejahatan. Allah di dalam Yesus
Kristus telah mengerjakan semuanya sehingga isi doa adalah kebenaran Allah dan
kerahiman-Nya. Karena itu, manusia dipanggil untuk mengalami dan menghidupi
kasih karunia Allah ini, yang olehnya manusia itu dimampukan untuk mengalami
dan menghidupi kemanusiaannya yang benar.
Doa
Bapa Kami secara tegas menyatakan hubungan antara Allah dan manusia di dalam
Yesus Kristus yang mewujud dalam kehadiran Kerajaan Allah di tengah dunia.
Teologi yang paling mendasar dari doa ini adalah perjuangan bagi hadirnya
Kerajaan Allah di tengah dunia ini. Hal yang terakhir ini mengisyaratkan adanya
konflik atau masalah, yakni pertentangan antara Kerajaan Allah dan kerajaaan
setan. Kerajaan Allah ditandai dengan kasih, keadilan dan damai sejatera.
Sebaliknya kerajaan setan ditandai dengan kebenciaan, ketidak-adilan,
penghancuran dan segala bentuk kejahatan.
Di
pihak lain, dunia di mana manusia hidup, khususnya pada zaman Yesus, dikuasai
oleh kekuatan-kekuatan jahat yang mengambil wujud dalam dua otoritas kehidupan,
yakni otoritas politik dan otoritas keagamaan yang mengakibatkan kesengsaraan
dan penindasan bangsa Israel.[85]Karena
itu, doa ini, dalam konteks Yesus pada waktu ini, pertama-tama adalah doa
tentang pembebasan manusia seutuhnya di segala abad dan tempat. Namun
pembebasan ini dilakukan dalam rangka menegakkan Kerajaan Allah, yakni
menciptakan suatu masyarakat di mana kehendak Allah, sebagai Allah yang meraja
atau memerintah, diberlakukan dan setiap orang dapat hidup serta mengalami
hidupnya sebagai manusia yang utuh dan beradab.
a.
“Berikanlah!”
Permohonan:
“Berikanlah!”, menjelaskan dua hal, yaitu pengakuan bahwa Allah adalah sumber
kehidupan dan pemilik alam semesta. Dialah sumber makanan atau segala sesuatu
yang dibutuhkan oleh manusia, bahkan seluruh ciptaan. Dialah Khalik langit dan
bumi, Penopang dan Pemelihara segala yang ada. Yang kedua, Allah sendirilah
yang memberikan roti dan makanan. Namun pemberiaan ini tidak turun dari langit
begitu saja, melainkan melibatkan pekerjaan manusia dalam dua segi.[86]
Di satu pihak, permohonan ini mensyaratkan kerja keras dan kesetiaan manusia
untuk mengusahakan dan mengelolah apa yang telah disediakan oleh Allah dengan
mengacu kepada maksud dan tujuan-Nya. Di pihak lain, permohonan ini juga
mengharuskan manusia untuk berbagi dengan mreka yang tidak mampu dan tidak
punya sebagai bentuk tanggapan terhadap Allah yang memberi. Dengan ini, kerja
bukan lagi kutukan, melainkan panggilan Allah untuk melibatkan manusia dalam
maksud dan rencana-Nya. Selanjutnya, kerja juga melibatkan kepentingan atau
kebutuhan mereka yang tidak memilki atau tidak mampu, terrutama yang
diakibatkan oleh ketidak-adilan dan karena terbatasan manusianya. Karena itu,
yang menjadi isi kerja keras dan kestiaan manusia dalam mengusahakan dan
mengelolah kebutuhannya adalah kehendak dan tujuan Allah.
b.
“Roti atau Makanan”
Dalam
konteks murid-murid Yesus, Roti adalah makanan jasmaniah yang membuat manusia
hidup. Namun berbagai pendapat timbul berkaitan dengan roti atau makanan pada
permohonan ini. F. X. Agus-I. Suharyo dan Abineno menyebutkan bahwa Roti atau
makanan sehari-hari ini merupakan lambang dan sekaligus partisipasi dalam
Kerajaan Allah yang sedang berjalan menuu kepenuhannya dan yang akan kita
warisi kelak.[87] Boff
menafsirkan Roti ini sebagai simbol dari keseluruhan makanan atau kebutuhan
yang diperlukan oleh manusia, di mana manusia tidak dapat hidup tanpanya. Roti
itu adalah makanan supaya manusia hidup.[88]
Sementara Heard mengaitkan hal ini dengan permohonan: Jadilah Kehendak-Mu!,
dengan meminjam pernyataan Yesus yang terdapat dalam Injil Yohanes: “Makanan-Ku
adalah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku.” Heard menghubungkan roti
dangan melakukan kehendak Allah. Karena itu, menurut Heard, roti adalah
melakukan kehendak Allah dengan menjadi bagian dari kehidupan-Nya.[89]
Lebih jauh dari itu, Kennedy menyebutkan Roti sebagai sakramen kesatuan manusia
di dalam Allah. roti menunjuk pada realitas Allah, yang adalah Kasih, yang
menjadikan kita satu dengan Dia dan membuat kita satu dengan yang lain dalam
kerajaan-Nya.[90]
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa roti bukan hanya terbatas pada
keperluan mengisi perut, tetapi juga menyangkut seluruh bentuk kelaparan yang
dialami oleh manusia; baik fisik, jiwa maupun rohnya. Tegasnya, roti
dihubungkan dengan eksistensi manusia dengan segala dimensi yang dimilikinya
sebagai makhluk ciptaan Allah dan juga menyangkut Allah serta kerajaan-Nya.
c.
“Kami”
Kata
“kami” menjelaskan tentang ikatan kemanusiaan sebagai keluarga manusia atau
menyangkut seluruh manusia, siapa pun, kapan pun dan dimana pun.[91]
Artinya, roti dihubungkan dengan orang lain bukan hanya untuk diri sendiri. Hal
ini terjadi karena sumber dari apa yang manusi abutuhkan, yang disimbolkan
lewat roti, adalah satu, yaitu Allah. dalam arti yang universal, Dialah Bapa
dari segenap manusia, bahkan seluruh ciptaan, walaupun dalam arti khusus Dia
adalah Bapa bagi mereka yang melakukan kehendak-Nya. Karena itu, apabila roti
dimaknai hanya untuk diri sendiri (egoistis), maka ia mengingkari kebenaran
bahwa Allah adalah Pencipta langit dan bumi yang menopang dan memelihara segala
sesuatu yang ada. “Roti barulah manusiawi, kalau ia dibagi-bagikan kepada orang
lain dan kalau ia berfungsi sebagai tali pengikat persaudaraan.”[92]
Rahasia kebahagian manusia terletak pada kesediaan dan kemauannya untuk berbagi
roti dengan orang lain, yakni roti kemanusiaan.[93]
Jadi, sebutan “kami” dalam permohonan ini menjelaskan tentang persekutuan
seluruh umat manusia tanpa membedakan siapa dan dari mana dengan hidup saling
berbagi.
d.
“Pada hari ini......yang secukupnya”.
Konsep
yang menjelaskan tentang karakteristik waktu dari permohonan. Waktu permohonan
ini adalah hari ini, saat ini. Waktu hari ini menjelaskan dua hal, yakni
signifikansi dan kontinutas. Signifikansinya adalah kubutuhan yang mendesak
segera. Hari ini, bukan besok atau lusa. Sementara kontinutasnya adalah tidak
berhenti pada saat ini, sebab waktu hari ini selalu ada dan terjadi di
sepanjang waktu sampai waktu itu tiba pada ketiadaannya. Hal ini berarti waktu hari ini menyangkut hari esok, lusa dan
hari yang akan datang. Dalam terang inilah dapat dimengerti bahwa waktu hari ini berkaitan dengan waktu yang
kekal (eskatologis), yakni perjamuaan Agung dalam Kerajaan Allah pada akhir
zaman.[94]
Pengertiaan ini menegaskan panggilan dan kerja keras manusia yang terus-menerus
tentang roti yang manusiawi hingga pemenuhannya dalam perjamuaan di Kerajaan
Allah.
Dari
uraian di atas dapat ditarik beberapa pemikiran sebagai berikut:
Pertama, permohonan ini berkaitan langsung dengan kebutuhan hidup
dasar manusia.
Kedua, permohonan ini menyangkut manusia secara universal, yakni
kesatuan manusia di hadapan Allah.
Ketiga, permohonan ini menegaskan sifatnya yang mendesak dan
segera untuk diwujudkan.
Keempat, permohonan ini kait mengait dengan Perjamuan Agung di
Kerajaan Allah yang akan datang.
Karena
doa, khususnya Doa Bapa Kami, adalah salah satu unsur penting ibadah, maka
bertolak dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa ibadah ritual tidak
lepas dari pergumulan manusia di tengah masyarakat.
1.
Kisah pemberiaan makan 5000 orang (Markus 6:30-44)
Kisah ini
merupakan peristiwa yang dicatat oleh keempat penulis Injil. Ini membuktikan
bahwa kisah ini merupakan hal yang penting. Keempat penulis Injil melaporkan
pemberiaan makan sebagai ajaib. Namun
yang menjadi pokok utama dalam peristiwa ini adalah belas kasihan Yesus yang dijadikan nyata atau dibuat kelihatan. Tujuan
Yesus melakukan peristiwa keajaiban ini adalah untuk menyatakan diri-Nya
sebagai seorang yang berasal dari Tuhan atau yang diutus oleh Tuhan seperti
Musa, namun Ia melebihi Musa yang memberikan manna di padang gurun ketika nenek
moyang orang Israel keluar dari Mesir.
a.
Pembagiaanya
Kisah ini
merupakan bagian mujizat-mujizat dan pengajaran Yesus di Galilea. Kisah ini
dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu:
a.1.
Kembalinya murid-murid (30-34)
setelah
memberitakan Injil murid-murid melaporkan hasil pelayanan mereka kepada Yesus,
namun tidak menjelaskan apa isi laporan tersebut. Melihat murid-murid-Nya
kelelahan, Yesus mengajak mereka ke suatu tempat yang lebih sunyi dan tenang
untuk beristirahat dan sekaligus berefleksi. Ketika mereka berangkat dengan
naik perahu, ada banyak orang melihat mereka dan kemudiaan mengikuti mereka
dengan berjalan kaki. Orang banyak itu tahu persis kemana Yesus dan murid-murid-Nya
akan pergi sehingga mereka memotong jalan dan tiba lebih dulu. Melihat kerumun
orang banyak yang tanpa gembala itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan.
Lalu ia mengajar mereka tentang banyak hal. Di sini pun Markus tidak
menyebutkan apa isi pengajaran itu.
a.2.
Pemberiaan makan (35-44)
Setelah
pengajaran, murid-murid memberitahukan kepada Yesus bahwa hari ini sudah petang
dan orang banyak itu perlu makan. Yesus memerintahkan agar mereka memberi orang
banyak itu makan. Sampai pada bagian ini murid-murid belum mengerti apa yang
dimaksudkan Yesus. Namun demikian, Yesus terus membimbing mereka lewat dialog
dan murid-murid dengan setia menaggapi perkataan Yesus serta melakukannya.
Pokok pembicaraan Yesus dengan murid-murid adalah soal makanan untuk orang
banyak. Kemudiaan, atas perintah Yesus, murid-murid mencari makanan dan mereka
menemukan lim aketul roti dan dua ekor ikan. Selanjutnya Yesus memerintahkan
murid-murid untuk membagi orang banyak itu ke dalam kelompok-kelompok, yaitu
kelompok seratus dan kelompok lima puluh. Tidak dijelaskan di mana posisi Yesus
dalam kelompok-kelompok tersebut; apakah Yesus berdiri di tengah atau
berhadapan dengan mereka. Setelah itu, Yesus mengambil lima roti ketul roti,
lalu menengadah ke langit dan mengucapkan berkat, kemudian Ia memecahkan roti
itu dan memberikan roti yang sudah dipecahkan itu kepada murid-murid agar
dibagikan kepada orang banyak. Demikian pun dilakukan terhadap dua ekor ikan.
Semua mereka makan dengan kenyang bahkan ada sisa dua belas bakul, padahal
orang banyak yang makan itu berjumlah lima ribu orang.
b.
Apa arti dan maknanya?
Tentang
hakikat dan makna peristiwa ini, para ahli memilki pandangan yang beragam.
Untuk mengetahui pandangan mereka sekaligus memperkaya pengertian tentang arti
peristiwa tersebut, penulis memaparkan beberapa pandangan mereka.
K.
Riedel[95]
menyebutkan tiga hal, yakni: Pertama, pemberiaan makan ini dihubungkan dengan
Doa Bapa Kami: Berikanlah kami pad ahari
ni makanan kami yang secukupnya. Meskipun manusia tidak hidup hanya dari
roti saja, demikian Ia menjelaskan, melainkan terutama dari firman Allah, namun
manusia tidak dapat hidup tanpa roti, sebab tubuh manusia sangat membutuhkan
makanan. Hal ini menegaskan hubungan yang akrab antara Allah dan manusia. Allah
yang membuat tuuh manusia dan Allah juga yang menyediakan makanan. Kedua,
pemberiaan makan ini merupakan antisipasi terhadapa Perjamuan Tuhan yang
ditetapkan Yesus dalam kehidupan gereja purba.
John
Hargraves merujuk pemberiaan makan ini kepada perjamuan Tuhan pada malam
sebelum kematiaan-Nya dan seluruh pelayanan Perjamuan Tuhan yang dikerjakan
oleh gereja. Melalui peistiwa ini, demikian ia menambahkan, kita diingatkan
bahwa Perjamuan Tuhan adalah waktu atau saat menantikan datangnya kesempurnaan
Kerajaan Allah.[96] Hal yang
sama dilakukan D.E. Nineham. Ia mengatakan bahwa kisah ini ditafsirkan sebagai
antisipasi terhadap Perjamuan Kekal dan Perjamuan Tuhan. Tanpa ragu, demikian
ia berpendapat, kisah pemberian makan ini tetap diceritakan ketika
komunitas-komunitas kecil bertemu untuk merayakan Perjamuan Tuhan.[97]
Hamper sama dengan Riedel, Morna D. Hooker merujuk kisah ini kepada Perjamuan
Mesianik dan Perjamuan Tuhan. Hanya saja Hooker menyebutkan Pemberian Makan
oleh Elisa (2 Raja-raja 4:42-44) sebagai yang pararel dengan kisah Allah
memberikan manna kepada bangsa Israel di Padan gurun (Keluaran 16) sebagai
latar belakang yang sangat penting dari kisah Markus.[98]
Berbeda
dengan para ahli yang telah disebutkan di atas, Eduard Schweizer menafsirkan
kisah ini sebagai kiasan atau ibarat terhadap Perjamuan Tuhan. Ia menyebutkan
bahwa ayat 41 yang berbicara tentang “Yesus mengambil roti dan ikan dan
membagikannya di antara mereka” tidak secara pasti dihubungkan dengan pasal 8:6
dan 14:22. Yang lebih mungkin, demikian ia menyimpulkan, adalah asosiasi
terhadap Perjamuan Tuhan muncul sebelum Markus.[99]
Lebih jauh Ched Myres menghubungkan kisah ini
dengan ideology sosial ekonomi dengan mengutip dua kiasan Perjanjian Lama,
yaitu kisah pemberian manna kepada bangsa Israel di padang gurun dan kisah
Elisa yang memberikan makan seratus orang. Menurut Meyers, kedua kisah tersebut
kait-mengait dengan masalah kelaparan (sosial ekonomi), sedangkan kiasan “domba
tanpa gembala” memiliki dimensi politik, yakni suatu kritik terhadap para
pemimpin, termasuk pemimpin bangsa yang tidak menjadi “gembala.”[100]
Dari
pendapat para ahli di atas dapat ditarik tiga penekanan penting berkaitan
dengan arti dan makna pemberian makan ini, yakni:
- Peristiwa ini merupakan antisipasi
Perjamuan Tuhan.
- Peristiwa ini memiliki hubungan dengan
Perjamuan Mesianik.
- Pemberian makan ini dihubungkab secara
erat dan nyata dengan kebutuhan hidup dasar manusia.
c.
Analisa liturgis
Kisah pemberian makan ini, bila diperhatikan dengan seksama, terkesan
adanya usaha Markus untuk menceritakan kisah ini dalam perspektif ibadah
sebagaimana tampak dalam ciri dan pola liturgi yang diperlihatkan di dalamnya.
c.1. Ibadah
Retreat (30-32)
Setelah murid-murid kembali dari
pekabaran Injil, Yesus mengajak mereka ke suatu tempat yang sunyi untuk
mengasingkan diri dan beristirahat. Tempat
yang sunyi menunjuk kepada suatu tempat yang jauh dari keramaian. Markus
tidak menyebutkan nama tempat tersebut. Beberapa penafsir menyebut “tempat yang
sunyi” ini adalah padang rumput (disert,
wilderness).[101]Padang
rumput adalah suatu tempat yang ideal dan tepat untuk sebuah pengasingan diri.
Pengasingan diri dengan beristirahat sejenak dari kesibukan sehari-hari
bertujuan untuk pemulihan atau penyegaran jiwa guna mendapatkan kekuatan baru
dan kedamaian. Peristiwa ini kemudian hari lebih dikenal dengan istilah retreat. “Dari Waktu ke waktu orang
Kristen membutuhkan suatu tempat yang sepi dan sunyi untuk sebuah “retreat”
guna memperoleh kedamaian dalam persekutuan dengan Yesus Kristus.”[102]
Karena
itu dapat diduga bahwa Yesus berencana mengadakan kegiatan ibadah bersama
murid-murid-Nya, namun ibadah itu tidak berlangsung di Bait Allah atau di rumah
melainkan di padang rumput. Ibadah itu adalah ibadah retreat.
c.2. Orang banyak mengikuti mereka
(33-34b)
Ketika
Yesus bersama murid-murid-Nya sedang bertolak dengan naik perahu, orang banyak
melihat mereka dan mengetahui tempat yang menjadi tujuan mereka. Dengan
mengambil jalan pintas, orang banyak itu mengikuti mereka dan mendahului mereka
tiba di tempat yang dimaksudkan Yesus. Hal yang ganjil adalah bahwa orang
banyak itu mengetahui tempat yang dituju oleh Yesus dan murid-murid-Nya.
Istilah yang dipakai untuk kata “mengenal” atau “mengetahui”adalah epiginosko, yakni mengetahui dengan
sungguh-sungguh tentang sesuatu hal atau mengerti. Dalam teks Bahasa Yunani,
tidak ada kata ganti orang. Pokok pikirannya adalah Yesus dan murid-murid-Nya
yang mengasingkan diri, dan orang banyak itu mengerti alasan mereka untuk
pergi, yakni untuk mendapatkan keterangan.[103]
Dari data ini dapat diduga bahwa orang
banyak itu mengenal Yesus beserta murid-murid-Nya dan mengetahui
kebiasaan-kebiasaan mereka, termasuk kebiasaan “retreat” di padang rumput atau
di tempat yang sunyi. Hal ini menegaskan bahwa keikutsertaan orang banyak dalam
“retreat” Yesus bukanlah untuk menggangu[104]
atau kebetulan. Mereka datang dengan kesengajaan dan kesadaran: kesadaran bahwa
mereka sangat membutuhkan pertolongan dan Yesus adalah Pembuat keajaiban.
Markus tidak menyebutkan secara jelas apa yang menjadi alasan sesungguhnya dari
kedatangan orang banyak itu. Namun keadaan orang banyak “seperti domba yang
tidak mempunyai gembala”, menjadi alasan Yesus berbelas kasihan.
c.3. Yesus mengajar (34c)
Setelah
orang banyak itu berkumpul dan berbaur bersama Yesus dan murid-murid-Nya,
tampaklah “kumpulan umat” dan Yesus mengajar mereka tentang banyak hal. Markus
tidak menyebutkan apa-apa saja tentang pokok pengajaran Yesus pada waktu itu,
tetapi Bolkestein mengatakan: “pengajaran Yesus adalah penyataan masa
keselamatan yang sedang tiba dan yang kini menjadi kenyataan di sekeliling Dia
dan di dalam Dia. Ia memanggil semua pendengar-Nya untuk menerima karya
penyelamatan Allah yang di dalam menjadi kenyataan.”[105]
c.4. Yesus “menahbiskan” murid-murid
(35-37)
Sebelumnya
peranan murid-murid tidak terlihat dalam “retreat” ini. Beberapa penafsir
mengatakan bahwa murid-murid sesungguhnya tidak mengerti apa yang sedang
terjadi. Namun Yesus memerintahkan mereka: kamu
harus memberi mereka makan! Perintah ini bukan hanya menyuruh murid-murid
untuk mencari solusi, tetapi terutama Yesus sedang membangun peranan
murid-murid ke tingkat yang baru. Tindakan mereka diperlukan untuk pemenuhan
pelayanan Yesus. Partisipasi yang baru ini diteguhkan melalui peranan dan
keterlibatan mereka dalam membangun dialog antara Yesus dengan orang banyak.[106]
Pada
ayat 41, ketika Yesus membagikan roti setelah dipecah-pecahkan, Yesus tidak
langsung memberikan roti yang dipecah-pecahkan tersebut kepada orang banyak,
melainkan melalui tangan murid-murid. Pola ini mengingatkan fungsi atau peranan
“diaken” pada pelayanan meja perjamuan. Dengan demikian, kata “kamu” mendapat
penekanan penting. Artinya “penabihsan” murid-murid ini, bukan saja membuat
peranan murid-murid menjadi baru, tetapi terutama Yesus sedang “menyerahkan” tugas
pelayanan misi Allah (Missio Dei)
kepada mereka, yang kemudian menjadi tugas panggilan gereja, yakni melaksanakan
misi Kristus (Missio Chisti). Bahkan,
“menurut gaya kitab Injil keempat [tentang kisah yang sama], perintah Yesus ini
menjadi titik tolak dari keajaiban yang akan datang. Tetapi hal itu belum
dipahami oleh murid-murid.”[107]
c.5. Perjamuan (38-44)
Setelah
“penabihsan” murid-murid, Yesus memasuki “liturgi” perjamuan. Pertama-tama,
bahan untuk perjamuan dipersiapkan, yakni roti dan ikan. Dalam bagian ini
Markus sama sekali tidak menyebutkan unsur anggur atau minuman. Namun ciri
perjamuan Paskah dan Perjamuan Tuhan sangat kental disuarakan. [108]
Pertama,
elemen roti dan ikan tidaklah secara tegas dijelaskan, namun dapat diketahui
simbol ikan secara luas digunakan sebagai “tanda” di antara komunitas-komunitas
Kristen yang paling awal. Pada masa itu, ikan bersama dengan roti merupakan
suatu hal yang sudah lazim. Pada waktu-waktu kemudian, lukisan roti dan ikan
ini terukir pada dinding-dinding katakombe-katakombe kekristenan awal sebagai
simbol ekaristi. [109]
Kedua,
Yesus menyuruh murid-murid untuk membagi orang banyak itu kedalam
kelompok-kelompok dan duduk di atas rumput. Hal ini mengingatkan peristiwa
keluaran Israel dari Mesir ketika mereka menerima manna di padang gurun[110]
dan juga pada perjamuan Tuhan gereja mula-mula. “setiap pembaca Injil Markus
akan memahami bahwa keadaan itu mirip dengan keadaan jemaat rumah, dan cara
mereka merayakan Perjamuan Tuhan di
gereja purba.”[111]
Ketiga,
Yesus bertindak sebagai tuan rumah. Tindakan Yesus ini adalah tindakan tuan
rumah yang melayani para tamunya.[112]
Apabila setiap orang telah mengambil tempat, tampillah Yesus sebagai kepala
“meja”, yaitu sebagai tuan rumah, seperti yang dilakukan-Nya pada Perjamuan
Terakhir.[113]
Keempat,
Yesus mengambil roti, mengucapkan berkat, memecah-mecahkan dan kemudian
membagikannya. Markus tidak menyebutkan rumusan berkat yang diucapkan oleh
Yesus, tetapi kemungkinan besar rumusan itu adalah: “terpujilah engkau, ya
Tuhan dan Allah-Ku, raja segenap alam, yang kemudian di-amin-kan oleh para
hadirin. Sementara tindakan memecahkan dan membagikan roti dan ikan
merefleksikan tentang kesatuan dan saling berbagi.[114]
Kelima,
mereka makan sampai kenyang bahkan bersisa 12 bakul. Unsur “kenyang” dan “bersisa”
menjelaskan bahwa perjamuan itu bukan terbatas pada hal-hal yang ritual saja,
tetapi juga sangat berkaitan dengan kehidupan sehari-hari orang banyak atau
umat. Unsur “kenyang” merujuk kepada tindakan ajaib Yesus yang memenuhi
kebutuhan primer dari orang banyak, bahkan lebih dari cukup. Sedang unsur
“bersisa” menegaskan “supaya ada persediaan untuk orang lain, yang pada saat
itu tidak dapat hadir.”[115]
Dari
uraian-uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa kisah pemberian makan ini
menjelaskan dua hal penting: pertama,
Yesus adalah Hamba yang benar yang diutus oleh Allah menjadi Gembala atau
pelayan yang menjaga, memelihara dan memberi makan domba-dombanya. Kedua, ibadah dan pengajaran-pengajaran
tidak berhenti pada tataran ritual dan konsep-konsep belaka melainkan harus
terjalin satu dengan tindakan nyata dalam persoalan hidup sehari-hari. Hal ini
menjadi sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para pemimpin agama
Yahudi yang pada saat itu berperan sebagai gembala umat israel mereka lebih
memikirkan diri-sendiri dengan menekankan ibadah ritual dan mengutamakan
detailnya hukum-hukum maupun konsep-konsep pengajaran, tetapi alpa terhadap
persoalan hidup yang dialami oleh umatnya.[116]
Rangkuman
Keadaan umat israel pada masa Yesus
yang mengalami “kelaparan” dalam arti luas merupakan petunjuk ke arah
ditretapkannya Perjamuan Terakhir oleh Yesus sebagai penyataan kerajaan Allah
di tengah dunia. Perjamuan terakhir yang diselenggarakan Yesus bersama
murid-muridnya memiliki keterkaitan yang kuat dengan persoalan hidup yang
dialami oleh umat israel. Penyataan keadilan ini tidak melalui penggunaan
kekuatan atau (force) melainkan
menyentuh hal yang paling esensial dari persoalan “kelaparan” manusia, yakni
dosa. Pada dasarnya kesalahan dan kejahatan tidak berada pada sistem, aturan,
lembaga dan segala bentuk-bentuk kekuasaan, melainkan ada pada manusia itu sendiri.
Dosalah yang membuat manusia tuan atas sesamanya. Dosa jugalah yang
menggerakkan manusia untuk menjadikan hukum, sistem, lembaga dan kekuasaan
menjadi tujuan, tidak lagi sebatas alat atau sarana. Akibatnya manusia
menguasai manusia lainnya, sementara di tempat lain manusia menjadi objek dari
sistem dan kekuasaan. Akhirnya manusia mengalami “kelaparan” dalam arti luas.
Itulah
sebabnya Yesus menantang manusia dan manusia yang mengelola kekuasaan, baik
otoritas politik maupun agama dengan memaklumkan kerajaan Allah, baik melalui
tindakan simbolik maupun pengajarannya. Secara khusus Yesus menantang
pemimpin-pemimpin agama Yahudi yang mengelola dan “menguasai” seluruh umat
israel, baik politik, sosial, ekonomi, maupun keagamaan. Tantangan dan kecaman
Yesus ini berhubungan dengan penyalah-gunaan Bait Allah sebagai pusat kehidupan
umat Israel dan kealfaan mereka dalam persoalan-persoalan umat. Hal ini secara
nyata diperlihatkan Yesus dalam tindakan maupun pengajaran-Nya; baik
demonstrasi di Bait Allah, pengajaran tentang dosa maupun pemberian makan yang
ajaib. Dengan latarbelakang ini, Perjamuan Terakhir merupakan permulaan ibadaH BARU atau ibadah alternatif yang terjadi di dalam diri-Nya sebagai Bait Allah
yang sesungguhnya menggantikan Bait Allah di Yerusalem yang telah kehilangan
fungsinya.
[1] Penjelasan tentang arti dan makna “lapar” diuraikan dengan
baik oleh Monika K. Hellwig dalam bukunya: The Eucharist and the Hunger of the
World (New York: Paulist Press, 1976), 9-23 (Selanjutnya disebut: Hellwig, The
Eucharist and the Hunger for justice: The Politic of food and faith ( Maryknoll:
Orbis Books, 1981), 1-9.
[2] Weinata Sairin & J.M. Pattiasina (peny.), Hubungan
Gereja dan Negara dan Hak-Hak Asasi Manusia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994),
74.
[3] Istilah “masyarakat bawah” berasal dari pembagian kelompok
masyarakat yang didasarkan pada status sosial ekonomi. Pembagian ini terdiri
atas tiga kelompok: Kelompok pertama disebut kelas atas, yakni para pemimpin
politik atau penguasa, pemimpin agama, tuan-tuan tanah, para saudagar atau
pemilik modal dan orang kaya. Kelompok kedua umumnya terdiri dari para pekerja
yang hidup dari keahlian yang mereka miliki, seperti tukang bangunan,
adminstrator, para seniman dan cendekiawan. Sementara kelompok ketiga adalah
masyarakat bawah, yakni para petani, buruh upahan, para gelandangan, pengemis,
orang-orang yang cacat, parabudak dan semua masyarakat yang terpinggirkan.
Lihat Frans Harjawiyatna, Yesus dan
Situasi Zaman-Nya, (Yogyakarta: Kanasius, 1998), 42-48 (Selanjutnya
disebut: Harjawiyatna, Yesus dan Situasi).
[4] Stambaugh & Balch, The
New Testament, 13, dan Arthur E. Zannoni, Jesus of the Gospel: Apa Kata
Injil tentang Dia (terj.) (Jakarta: Obor, 2004), 21 (Selanjutnya disebut:
Zannoni, Jesus of the Gospel).
[5] Stambaugh & Balch, The New Testament, 14; lihat juga
Lukas Tjandra, Latar Belakang Perjanjian Baru I (Malang: Seminari Alkitab Asia
Tenggara, 2000) 79-82 (Selanjutnya disebut: Tjandra, Latar Belakang).
[6] Stambaugh & Balch, The New Testament, 20, dan Zannoni,
Jesus of the Gospel, 22.
[7] Raja Antiokus IV Epifanes lahir di kota Atena. Sifatnya
bengis dan kaku, sadis dan licik, angkuh dan sombong, sampai-sampai ia menyebut
dirinya sebagai dewa. Karena kekejaman dan kesadisannya ia dilambangkan sebagai
anti Kristus. Sepak terjangnya yang lebih jauh dalam penindasan bangsa Yahudi.
Lihat Tjandra, Latar Belakang,
97-100.
[8] Mengenai sejarah dinasti Hasmon ini secara terang dan jelas
diuraikan oleh Staubaugh & Balch, The New Testament, 22, dan juga Zannoni, Jesus of the Gospel, 23. Sedangkan
mengenai gerakan revolusi di bawah pimpinan Yudas Makabeus, dikisahkan dengan
baik oleh Tjandra, Latar Belakang,
107-117.
[9] Merril C. Tenney, Survey
Perjanjian Baru, (Malang: Gandum Mas, 1997), 38 (Selanjutnay disebut:
Tenney, Survey PB). Herodes Antipater
inilah orang yang bertanggungjawab bagi dukungan pompey terhadap Hirkanus. Ia
adalah orang Arab yang sudah memeluk agama Yahudi dan merupakan seorang anggota
keluarga yang terkemuka di Idumea. Lihat S. Wimoady Wahono, Di sini Kutemukan: Petunjuk mempelajari dan
mengajarkan Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, Cet. Ke-3, 1990), 282
(Selanjutnya disebut: Wahono, Di sini).
[10] Matius 2:16-18. Kekejaman Herodes ini termasuk membunuh
anak-anaknya sendiri karena dianggap mengancam kerajaannya. Lihat Stambaugh
& Balch, The New Testament, 24.
[11] Wahono menyebutkan bahwa pembagian kerajaan kepada ketiga
anaknya setelah kematian Herodes Agung didasarkan pada surat wasiat yang
dituliskan oleh Herodes Agung: Wahono, Di Sini, 288, sedangkan Zannoni
mengatakan pembagian itu dilakukan oleh pemerintah Roma. Hal ini berdasar,
sebab dinasti Herodes yang memerintah di wilayah Yahudi berada dalam kontrol
dan kekuasaan kekaisaran Roma, Zannoni, Jesus
of the Gospel, 26.
[12] Tenney, Survey PB, 44 dan Stambaugh & Balch, The New Testament, 25.
[13] Ibid, 45, dan 25. Lihat juga Gerd Theissen, The Gospel in Context: Social and Political
History in the Synoptic Tradition, (Edinburgh: T&T Clark, 1992), 37-38
(Selanjutnya disebut: Theissen, The
Gospel in Context).
[14] Richard J. Cassidy, Jesus,
Politics, and Society: A Study of Luke’s Gospel, (Maryknoll: Orbis Books,
1979), 59 (Selanjutnya disebut: Cassidy, Jesus,
Politics).
[15] Tenney, Survey PB, 43, dan Stambaugh & Balch, The New Testament, 25.
[16] Wahono, Di Sini,
289.
[17] Tjandra, Latar
Belakang, 134 dan Tenney, Survey PB,
51.
[18] Stambaugh & Balch, The
New Testament, 26, dan Wahono, Di
Sini, 292.
[19] Grassi, Perwujudan
Ekaristi, 14
[20] Cassidy, Jesus,
Politics, 99.
[21] Harjawiyata, Yesus
dan Situasi, 42.
[22] Tenney, Survey PB,
75.
[23] Harjawiyata, Yesus
dan Situasi, 43.
[24] Lihat Borg, Kali
Pertama, 56-63.
[25] Harjawiyata, Yesus dan Situas, 47. Bdg. Theissen, The
Gospel in Context, 61-65.
[26] Grassi, Perwujudan Ekaristi, 18.
[27] Ibid.,19.
[28] Borg, Kali Pertama, 61
[29] Lihat Harjawiyata, Yesus dan Situasi, 80-105.
[30] S. Anita Stauffer (ed.), Worship and Culture in Dialogue: Reports of International
Consultations: Cartigny, Switzerland, 1993: Hong Kong, 1994 (Geneva: Department
for Theology and Studies the Lutheran World Federation, 1994), 69 (Selanjutnya
disebut: Stauffer, Worship and Culture).
[31] Walter A. Elwell (gen. Ed.), Baker Encyclopedia of the Bible Vol. I (Grand Rapids: Baker Book
House, 1989), s. v. Feast and Festivall of Israel (R.K. Harriso) (Selanjutnya
disebut: Elwell, Baker Encyclopedia).
[32] James Hastings (ed.), Encyclopedia of Religion and Ethics
(New York: Charles Sribner’s Sons, 1951), s.v. Feasting (J.A. MacCulloch).
[33] Mangun Wijaya, Ragawidya,
97.
[34] Leon-Dufor, Ensiklopedi,
295.
[35] Walter A.Elwell, Baker Encyclopedi, s.v. Feast and Festival
of Israel (R.K Harrison).
[36] Colin Brown (gen.ed), The New International, s.v. Feast,
Passover (R. Mayer).
[37] Zannoni, Jesus of Gospels, 110
[38] George Arthur Buttrick (Dictionary editor), The
Interpreter’s Dictinary of the Bible: An
Illustrated Encyclopedia (Nashville: Abingdon Pres, 1962), s.v. “J.C.
Rylaarsadam).
[39] Gertrude Jobes, Dictionary
of Mythologi: Floklore and Symbol I (New York: The Scarecrow Press,
inc.,1962),554.
[40] Buttrick, The
Interpreter’s, s.v “Feasts and Fast.”
[41] Merril C. Tenny (gen, ed.), Pictorial Encyclopedia of The Bible2, (Grand Rapids: Zondervan
Publishing House, 1976,s.v. “Feasts” (J.P.Lewis).
[42] Zannoni, Jesus of the
Gospel, 113.
[43] B.F. Westcott, The
Gospel According to John, (Grand Rapids: WM. B. Eerdmans Publishing
Company, 1962), 35 (Selanjutnay disebut: Wescott, The Gospel). Lihat juga Oscar
Cullmann, Early Christian Worship,
(Philadelphia: The Westminster Press, 1978), 66-71.
[44] Zannoni, Jesus of the
Gospel, 111.
[45] Ibid.,115.
[46] Perayaan Paskah dan Hari Roti Tidak Beragi diduga berasal
dari ritus dan kebiasaan masyarakat Kanaan yang sudah lama berangsung sebelum
sejarah Israel, lalu kemudian diadopsi oleh Isarel menjadi perayaan mereka.
Perayaan Paskah berasal dari ritus para gembala untuk melindungi domba-domba
mereka dari berbagai ancaman dan kematian. Sementara Roti Tidak Beragi
merupakan perayaan yang berhubungan dengan pertanian dari masyarakat Kanaan.
Lihat Merrill C. Tenney (gen. Ed.), Pictorial Encyclopedia of the Bible 4 (Grand
Rapids: Zondervan Publishing House, 1976), s.v. “Pssover” (J. Jocz).
[47] “Biarkan umat-Ku pergi untuk mengadakan perayaan bagi-Ku di
padang gurun” menguatkan hipotesis bahwa perayaan Paskah berasal atau adopsi
dari Tirus para gembala di padang gurun. Buttrick, The Interpreter’s s.v.
“Passover and Feast of Unleavened Bread.”
[48] Lihat Ensiklopedia Alkitab Masa Kini II, (Jakarta: Yayasan
Bina Komunikasi Kasih.OMF, 1995), s.v. “Paskah, Hari Raya.”
[49] Lihat Ensiklopedia Alkitab Masa Kini II, (Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1995), s.v. “Paskah, Hari Raya.”
[50] Ibid. Lihat juga Gerd Theissen and Annette Merz, The
Historical Jesus: Comprehensive Guide, (London: SCM Press Ltd, 1998), 424
(Selanjutnya disebut: Theissen-Merz, The Historical).
[51] Hagada adalah kiasan atau riwayat pembebasan Israel dari
perbudakan Mesir yang dirituskan melalui dialog dan peragaan dengan tujuan agar
setiap perayaan (umat) mengingat apa yang telah Allah perbuat dan yakin bahwa
Allah yang sama sedang dan akan terus bertindak untuk mereka.
[52] Diperkirakan pada bagian inilah Yesus menyatakan amanat
penetapan Perjamuan Terakhir yang mentranspormasi Perjamuan Paskah ke dalam
diri-Nya sendiri (melalui seluruh hidup, penderitaan, kematian dan
kebangkitan-Nya) dengan merujuk roti dan anggur kepada tubuh dan darah-Nya.
[53] Lihat Goran Parsson, Bound for Freedom: The Book of Exodus
in Jewish and Christian Traditions, (Peabody: Hendrickson Publishers, 1999),
80-95.
[54] Lihat juga H. Rosin, Tafsiran
Alkitab: Kitab Keluaran 1-15: 21, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2003), 163-165.
[55]Theissen-Merz, The
Historical, 432.
[56] Ben Witherington III, The
Gospel of Mark. A Sicio-Rethorical
Commentary (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publising Company, 2001), 315
(Selanjutnya disebut: Witherington, The
Gospel)
[57] Frank J. Matera, Passion
Narratives and Gospel Theologis: Interpreting the Syonopttic through their
Passion Stories (New York: Paulist Press, 1986), 67, (Selanjutnya disebut:
Matera, Passion)
[58] E.P. Sanders, Jesus
and Judaism (Londom: SCM Press: Ltd, 1985), 62 (Selanjutnya disebut:
Sanders, Jesus).
[59] Penyediaan binatang korban menjadi sesuatu yang “harus”
dikerjakan sebagai konsekuensi logis dari fungsi prinsipil dari Bait Allah
sebagai tempat di mana pelayanan korban dipusatkan. Sementara itu pelayanan
korban mengharuskan suplai binatang-binatang korban yang layak. Di pihak lain,
alat tukar menukar atau uang yang berlaku di Bait Allah adalah koin Tyrian. Hal
ini memaksa setiap orang yang ikut dalam perayaan Paskah ini harus menukarkan
uang terlebih dahulu sebelum terjadi transaksi jual beli, khususnya bagi merek
ayang datang dari berbagai penjuru dunia dan yang tidak menjadikan uang Tyrian
sebagai mata uang daerah atau negaranya. Lihat Sanders, Jesus, 63-65.
[60] Ibid, 66. Karena
para imam yang mengontrol segala sesuatu yang terjadi di Bait Allah, ada dugaan
bahwa para imam memberikan rekomendasi atau restu terhadap binatang-binatang
yang akan dibeli sebagai yang di pandang layak dan suci. Jika dugaan ini benar,
maka dapat dipahami tindakan Yesus mencela pemimpin-pemimpin Bait Allah dan
pemakluman akhir dari Bait Allah.
[61] Warrant Carter, Mathew and the Margins: A Sosiopolitical
and Religious Reading (Maryknoll: Orbits Books, 2002), 418 (Selanjutnya
disebut: Carter, Mathew).
[62] Selain mencela
[63]Matera, Passion,
67.
[65]Wolfgang Stegemann, Bruce J. Malina & Gerd Theissen
(editors), The Social Setting of Jesus
and the Gospel (Minneapolis: Fortress, 2002), 238.
[66]Lihat Bab I dari tulisan ini.
[67]Sanders, Jesus, 70.
[68]Matera, Passion,
67.
[71]Witherington, The
Gospel, 317.
[72]Westcott, The Gospel,
42.
[73]D.A. Carson, The
Gospel According to John (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing
Company, 1991), 175-183 (Selanjutnya disebut: Carson, The Gospel).
[74]Theissen-Merz, The
Historical, 433.
[75] Matera, Passion,
68.
[76]James D. G Dunn, Jesus
Remmbered (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 2003),
17.3 (Selanjutnya disebut: Dunn, Jesus
Remembered).
[77]Ibid.
[78]Ibid
[79] Dunn, Jesus
Remembered, 17.4.
[81]Lihat Gerald, The
Creed of Christ: An Interpretation of the Lord’s Prayer (New York: Harper
& Brothers Publishers, 1940) (Selanjutnya disebut: Heard, The Creed).
[82]Lihat G.A. Studdert Kennedy, The Wicket Gate or Plain Bread (New York: George H. Doran Company,
1923)(selanjutnya disebut: Kennedy, The
Wicket).
[83]Lihat F.X. Agus Suryana Gunadi & I. Suharyo, Datanglah Kerajaan-Mu: Latar Belakang dan
Penafsiran Doa Bapa Kami (Yogyakarta: Kanisius, 1998) (Selanjutnya
disebut:Gunardi & Suharyo, Datanglah).
[84]Lihat Leonardo Boff, The
Lord’s Prayer: Prayer of Integral Liberation (Maryknoll: Orbis Books,
1988)(Selanjutnya disebut: Boff, The
Lord’s).
[85] Lihat Bab I.A
[86] George Arthur Buttrick, So
We Believe, So We Pray (New York: Abingdon-cokesbury Press, 1966), 185
(Selanjutnya disebut: Buttrick, So We
Believe)
[87] Gunadi-Suharyo, Datanglah,
103 dan J. L. Ch. Abineno, Manusia dan
Sesamanya Di Dalam Dunia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1967), 145 (Selanjutnya
disebut: Abineno, Manusia).
[88] Boff, The Lord,
75.
[89] Heard, The Creed, 94.
[90] Kennedy, The Wicked, 152.
[91] Buttrick, So We
Believe, 188
[92] Abineno, Manusia, 147.
[93] Boff, The Lord’s, 77.
[94] Abineno, Manusia,
149-155; Boff, The Lord’s, 79-83;
Heard, The Creed, 191-192.
[95] K. Riedel, Injil
Markus (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1956), 78-79.
[96] John Hargreaves, A Giude to St. Mark’s
[97]D.E. Nineham, The
Pelican New Testament Commentaries: The Gospel of St. Mark (London: Penguin
Books, 1969), 179.
[98]Morna D. Hooker, A
Commentary on the Gospel According to St. Mark (London: A & C Black,
1991), 164-165.
[99]Eduard Schweizer, The
Good News According to Mark (London: SPCK, 1971), 137-138 (Selanjutnya
disebut: Schweizer, The Good News).
[100]Ched Meyers, Binding
the Strong Man: A Political Reading of Marks Story of Jesus (New York:
Orbis Books, 1988), 206-208.
[101] Nineham, The Pelican,
182, dan Hooker, A Commentary, 165.
[102]Hagreaves, A Guide,
103.
[103]Kenneth S. Wuest, Mark:
In the New Testament of the English Reader (Grand Rapids: WM. B. Eerdmans
Publishing Company, 1953), 133.
[104] Hargreaves, A Guide, 104.
[105] M.H. Bolkestein, Kerajaan
yang Terselubung: Ulasan atas Injil Markus, terj. (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1997), 122 (Selanjutnya disebut: Bolkestein, Kerajaan).
[106] Edwin K. Broadhead, Teaching with Authority: Miracle and
Chistology in the Gospel of Mark (Jounal for the study of the New Testament;
Suplement Series 74), 119.
[107]Bolkestein, Kerajaan,
123.
[108] Untuk lebih memahami latarbelakang dan makna “pemberian
makan atau perjamuan” ini dalam konteks Yahudi, ada baiknya membandingkannya
dengan pemikiran Klpatrick mengenai perjamuan suci. Lihat Klpatrick, The
Eucharist in Bible, 59-68,
[109] Nineham, The Pelican,
183.
[110] Hooker, A Commentary,
167.
[111] Bolkestein, Kerajaan,
133-134
[112] Nineham, The Pelican
[113] Bolkestein, Kerajaan,
124
[114] Bnd. Xavier Leon-Dofour, Sharing the Eucharistic Bread: The Witness of the New Testament (New
York:Paulist Press, 1981),22-24 (selanjutnya disebut: Leon-Dufour, Sharing).
[115] Hooker, A Commentary,
167.
[116] Lihat Bab I.A.4.
Komentar