JURNAL: KEUTUHAN KEMBALI PELA GANDONG DALAM KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA DI AMBON

     KEUTUHAN KEMBALI PELA GANDONG DALAM KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA DI AMBON

Fredrik Temartenan
Sekolah Tinggi Teologi Bina Muda Wirawan Tangerang, Ambon, Indonesia
Email: fredriktemartenan@gmail.com

ABSTRAK: Tujuan dari penelitiaan ini adalah untuk mengkaji keutuhan kembali pela-gandong dalam kerukunan antar umat beragama di Ambon. Penelitiaan ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif lapangan (studi kasus) dengan menggunakan teknik pengumpulan data dalam bentuk kajiaan pustaka dan wawancara. Konfilk Ambon terjadi karena unsur politik dan ekonomi, sosial dan birokrasi sehingga agama dijadikan sebagai pemicu perpecahan dan konflik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang berpotensi menyatukan kerukunan antar umat beragama di Ambon ialah kearifan lokal yaitu pela-gandong. yang didalamnya terkandung nilai ale rasa beta rasa, katong samua basudara dan siwa lima.

Kata Kunci: Kerukunan antar umat beragama, kearifan lokal, pela gandong, Ambon

PENDAHULUAN

Bhinneka tunggal ika adalah semboyan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terdiri dari keberagaman social, budaya, agama, suku, ras, bahasa dan adat-istiadat. Keberagaman inilah merupakan kekayaan bangsa Indonesia dan salah satu cirinya yaitu pluralitas. Pluralitas keagamaan rentan memunculkan konflik karena agama memiliki peradigma yang berbeda-beda sehingga hal ini dapat mempengaruhi kepercayaan, nilai, sikap penggunaan waktu serta aspek budaya yang lainnya. Tetapi secara umum dalam agama terkandung nilai dan ajaran perihal manusia punya relasi yang baik dengan Tuhan, punya relasi yang baik terhadap diri sendiri, sesama bahkan dengan alam semesta.

Perihal keberagamaan Jeneman Pieter mengatakan bangsa Indonesia dinilai sebagai bangsa yang memiliki sebuah kekayaan atau keistimewaan karena kemajemukan yang ada. Namun tanpa disadari bahwa kekayaan atau keistimewaan yang dimiliki bangsa Indonesia ini juga menjadi duri dalam daging. Hal ini ketahui dengan realitas yang ada bahwa begitu banyak ragam yang terdapat dalam kehidupan masyarakat, sudah pasti memunculkan masalah-masalah internal dalam bangsa. Duri dalam daging yang dimaksud ialah karena benturan persepsi keagamaan sering berujung pada konflik ketegangan, pertikaian dan konfrontasi. Hal ini terbukti dalam sejarah Maluku, yang dikenal dengan Tragedy Ambon 1999.

Konflik Ambon merupakan konflik horizontal yang terjadi yakni konflik antara masyarakat kaum Kristen dan Islam. Konflik Ambon dipicu oleh berbagai faktor. Seperti social, pilitik ekonomi dan birokrasi sehingga hal ini dibawah dalam ranah senitimen Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA). Konflik Ambon merupakan tregedi kemanusian terbesar dalam sejarah. Sehingga memakan banyak korban jiwa dan terjadi kurusakan fasilitas umum, misalnya; kerusakan bank, gedung pemrintah, tempat ibadah (gereja dan mesjid) dan banyak orang yang mengungsi ke daerah zona aman.

Tragedi Ambon merupakan satu peristiwa yang sudah mencoreng kebhinnekaan Indonesia, mencabik perdamaian umat beragama, menyobek persatuan dan kesatuan bangsa bahkan menghancurkan keseragamanan yang ada di bumi pertiwi ini. Sehingga banyak mengalami kesusahan, kesedihan, kesengsaran, kedukaan, kemiskinan dan kepahitan serta kebencian yang berkepanjangan. John Titaley menjelaskan bahwa peristiwa terjadinya konflik Ambon ini menimbulkan kebencian dan dendam yang mendalam antar kedua kaum tersebuat, sehingga memunculkan pikiran-pikiran fanatik bahwa hanya agama Kristenlah yang paling benar dan yang lainnya salah. 

Dasar pemikiran tersebut senada dengan Nabel Jabbour bahwa stereo type negative dan rasa takut yang terburu telah mempersulit relasi antar agama . Misalnya orang Kristen menilai orang muslim adalah kaum radikal yang lazim disebut sebagai teroris karena memiliki dedikasi ektrim dalam penyerahan diri kepada. Sedangkan kaum Islam menilai negatif orang Kristen sebagai agama penjajah karena bangsa Belanda yang menyebarkan injil di Maluku adalah orang yang menjajah bangsa Indonesia. Pemikiran-pemikiran seperti ini membuat setiap masyarakat akan menjadi enggan untuk hidup bersatu dalam keberagaman yang ada.

Berdasarkan latar belakang tersebuat, maka peneliti terdorong untuk mengkaji keutuhan kembali pela gandong dalam kerukunan antar umat beragama di Ambon. Karena menurut hemat penulis bahwa pasca kerusuhan Ambon untuk utuh kembali dalam kebhinnekaan Indonesia bukanlah sesuatu yang mudah. Sebab hal ini memakan waktu yang lama kurang lebih 3 ½ tahun. Karena itu dalam tulisan ini, penulis akan fokus kepada keutuhan kembali pela gandong dalam kerukunan antar umat beragama di Ambon. 

Adapun yang menjadi rumusan masalah ialah apa yang menyebabkan terjadinya konfik Ambon, dan bagaimana masyarakat Ambon kembali hidup rukun. Dengan demikian, tujuan penulisan ini untuk mengetahui keutuhan kembali pela gandong dalam kerukunan antar umat beragama di Ambon.

METODE PENELITIAN

Metode yang peneliti gunakan dalam karya ilmiah ini adalah penelitian kualitif lapangan yaitu studi kasus. Adapaun yang menjadi proses pengumpulan data dalam penelitiaan ini adalah melalui kajian pustaka dan wawancara. Penulis akan fokus pada kajian keutuhan kembali ikatan pela gandong dalam kerukunan antar umat beragama di Ambon. Dalam konflik Ambon, sejatinya agama hanyalah faktor pendukung dari konflik. Karena yang menjadi pemicu dari konflik Ambon ialah faktor ekonomi, social, politik dan birokrasi.

PEMBAHASAN

Konflik yang terjadi di Ambon bermula ketika target kekerasanya terhadap para pendatang muslim dari Buton, Bugis dan Makasar (BBM) . Konflik Ambon terjadi kembali ketika eksodus besar-besaran oleh para pendatang diseluruh wilayah Maluku. Konflik ini sempat mereda pada saat kampanye pemilihan umum Mei 1999. Namun ketika Partai Demokrat Indonesia Perjuangan menang dalam pemilihan umum tersebut, maka Konflik Ambon kembali meledak pada Juni 1999. Karena persepsi orang bahwa kemenangan PDIP merupakan kemenangan Kristen sehingga membuat semua warga bertahan pada agama dan kepercayaannya dan melakukan tindakan anarkis terhadap orang yang berbeda agamanya.

TNI dan Polri pun terbagi dengan garis agamanya, sehingga mereka tidak menjalankan tugasnya dengan benar. Margaretha Margawati menjelakan bahwa konfilk Ambon merupakan bagian dari strategi kelompok militer tertentu dengan motif untuk membuat kondisi agar militer kembali berkuasa. Hal ini dilakukan pada pemilihan umum Juni 1999 . Hakis, mengungkapkan bahwa konflik sosial yang terjadi di Ambon merupakan konflik yang dipicu oleh motif ekonomi, social, politik dan kekuasaan bukan konflik karena agama. Karena sejatinya semua agama mengajarkan kepada umat untuk hidup rukun, toleransi dan saling menghormati antar agama.

Klimaks dari Konflik Ambon ketika terjadi serangan dari kaum Islam terhadap Gereja Protestan Maluku Jemaat Silo dengan membakar habis gedung gereja setelah hari Natal. Hal yang sama pun terjadi pembantaian dari kaum Kristen terhadap kaum Islam dengan membunuh hampir 800 orang dalam mesjid di daerah Tobelo. Insiden tersebut membuat sehingga konflik Kristen dan Islam semakin tegang dan membesar sehingga pihak keamanan (Polri dan TNI) tidak bisa berbuat sesuatu untuk dapat meredahkan konflik tersebut.

Christian Herman Johan de Fretes mengatakan, peralihan masa kediktatoran dari orde baru kepada masa reformasi dengan gerakannya yang sukses telah mengantarkan kekuatan sipil untuk berkuasa dan berdaulat kembali. Sehingga munculnya Front Kedaulatan-Maluku Republik Maluku Selatan (FKM-RMS) untuk memperjuangkan kemerdekaan Maluku sebagai negara berdaulat yang mengantarkan konflik SARA ini kedalam sebuah identitas konflik yang baru, yakni nasionalisme. Kematian sang proklamotor RMS Dr, Chris Soumokil sejak tahun 1966, dengan anggapan bahwa gerakan RMS sudah ditumpas habis namun faktanya pada konflik Ambon RMS kembali muncul. Berarti sejatinya, RMS belum ditumpas habis sampai ke akar-akarnya. Chr. Ruhulessin mengatakan isu agama dalam hal ini lascar jihad maupun FKM-RMS ternyata membuat masyarakat terpengaruh. Padahal konflik Ambon terjadi karena ada satu kekuatan politik yang telah mendesain konflik tersebut.

Waktu terus berjalan berbagai upaya yang dilakukan untuk penyelesaian Konflik SARA dengan beragam cara, namun tak kunjung akhir sehingga salah satu hal yang dapat dilakukan ialah perdamaian melalui kearifan lokal. Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi mengatakan toleransi dan kerukunan antar umat beragama di Maluku sangat baik. Karena semua agama mengajarkan hidup dalam toleransi dan kerukunan. Toleransi dan kerukunanan adalah salah satu tolak ukur dalam mengupayahkan perkembangan satau bangsa, Kerukunan yang dilakukan di Maluku merupakan hal yang luar biasa, dan ini layak menjadi anutan bagi seluruh umat beragama. Hal ini sejalan dengan program Kemenag dalam memperkuat moderasi beragama.

Mengenai kehidupan umat beragama di Ambon yang saling berdampingan dalam persaudaraan, sangatlah membawa perubahan yang menjadi sorotan panutan dalam kehidupan bermasyarakat lainya, meski tidak bisa pungkiri bahwa tragedi yang terjadi pada tahun 1999 itu merupakan duri yang tancap dalam ingatan semua masyarakat kota Ambon dengan tingkat pelanggaran HAM kurang lebih dari 3 ½ tahun. Apa yang menyebabkan sehingga tingkat kerukunan dan torenansi umat beragama di Ambon begitu signifikan di rasakan oleh semua masyarakat Ambon.

Faktanya bahwa yang menjadi faktor penyatuhan hubungan antara umat beragama di ambon yang dibangaun setelah tragedi kerusuhan adalah Pela gandong yang merupakan nilai social yang tumbuh berkembang dalam kehidupan masyrakat Maluku. Pela gandong merupakan budaya turun-temurun yang diciptakan dalam mewujudukan persaudaraan antara negeri satu dengan negeri lainya. 

Hubungan pela gandong bukan hanya sebatas persamaan agama melainkan hubungan ini mencangkup semua perbedaan antara umat beragama tanpa melihat sutau kesamaan dalam membangun hubungan tersebut. Hubungan inilah yang menjadi suatu ikatan social secara batiniah yang telah melekat dalam kehidupan masyarakat Maluku. Upacara minum sopi yang dicampur dengan darah kedua pemimpin negeri itulah bentuk perjanjian pela. Sehingga hal tersebut dapat mengikat kedua negeri dan keturunannya selamanya. Maka dengan itu pela gandong diartikan sebagai hubungan kakak-adik antar kedua negeri tersebut.

Jadi, pela gandong mengandung makna yang sama dengan kebinekaan Indonesia, walaupun bebeda agama dan keyakinanan namun tetap bersatu. Seyogianya semua masyarakat Maluku menyadari keberagaman yang ada, bahwa sejak para leluhur keberagaman itu sudah menjadi bagian dari pela gandong, sehingga masyarakt kembali hidup rukun dan saling tolerensi antar sesama dalam beragama. Maka tak ada lagi permusuhan ataupun kontra antar sesama masyarakat dalam lingkup SARA di Maluku.

HASIL

Adapun hasil yang peniliti lakukan di lapangan adalah bahwa kearifan local yang disebut sebagai pela dan gandong merupakan satu kekuatan untuk mengikat kembali kerukunan antar umat beragama karena pela dan gandong memiliki nilai-nilai kemanusiaan dan persaudaraan yang tinggi. 

Neles Hersepuny mengungkapkan bahwa kembalinya toleransi antar umat beragama di kota Ambon adalah kesadaran semua masyarakat, karena sejak para leluhur Maluku hidup bersatu, walupun berbeda agama dan keyakinan. Sebab tradisi adat dan budaya dalam hal ini pela gandong merupakan ikatan persatuan dan kesatuan bagi semua masyarakt yang ada. Baik orang asli Ambon maupun pendatang. Karena sejatinya konflik Ambon terjadi itu bukan pemicu agama tetapi politik dan kekuasan sehingga pela gandong itulah yang dapat mengikat kembali kerukunan antar umat beragama di Ambon.

Selain konsep pela dan gandong, Daniel Sampeliling mengatakan bahwa kerukunan antar umat beragama di Ambon adalah nilai yang terkandung di dalamnya yaitu “ale rasa beta rasa” sebagai slogan adat. Hal diungkapan bahwa sejatinya semua masyarakat yang ada merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Sehingga jika terjadi konflik ataupun pertikaan sekelompok orang, maka hal ini dapat dirasakan semua masyarakat.

Arnold Abrahams juga mengatakan bahwa hal yang membuat sehingga masyarakat Ambon kembali hidup rukun adalah budaya local yang sejak para leluhur sudah melakukan yakni pela gandong. Bahwa masyarakat yang ada sudah menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan karena memang diikat dalam budaya pela gandong sehingga sangat mudah bagi masyarakat untuk kembali hidup rukun dan damai.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan tersebut, maka peneliti menyimpulkan bahwa pemicu Konfilk yang terjadi di Ambon sejak tahun 1999-2002 adalah unsur politik dan ekonomi yang mengatasnamakan SARA. Karena kalau di telaah bahwa sejak para leluhur, ikatan persaudaran di Ambon sangat erat walaupun berbeda suku, agama ras dan golongan. Konflik yang berkepanjang sehingga memakan banyak korban jiwa dan lain dari itu terjadi kerusakan bagunan pemerintah maupun tempat-tempat ibadah (Gereja dan Mesjid). Hal inilah yang membuat sehingga Ambon terkenal dengan tragedy kemanusian yang telah mencoreng arti kebinekaan Indonesia.

Konflik Ambon yang berkepanjangan, namun berujung pada perdamaian karena berbagai upaya dan beragam bentuk dilakukan untuk menyatukan kembali kerukunan yang ada. Berbagai upaya yng dialkukan baik secara hukum, intervensi pemrintah, lembaga agama dan kearifan local serta inisiatif dan kesadran masyarakat Ambon. sehingga masyarakt Ambon kembali hidup rukun dan damai. Kerukunan dan tolaransi antar umat beragama ini sangat penting karena itu merupakan bagian dari kemajemukan dan keberagaman dalam bingkai bhineka tunggal ika.

Adapun yang menjadi pengaruh besar dalam keutuhan kembali kerukunan antar umat beragama di Ambon ilalah kearifan lokal. Kearifan lokal merupakan hukum adat tertinggi yang dilakukan oleh masyarakat setempat di Maluku. Kerarifan local yag dikmasud ialah pela gandong. Pela gandong inilah yang menjadi ikatan hubungan social dalam masyarakt Maluku. Sehingga tidak ada diskriminasi antar suku rasa dan agama. Karena pela gandong mengandung makna satu darah, satu moyang dan satu rasa. Selain pela gandong, ada juga nilai-nilai yang terkandung di dalam kearifan budaya Ambon, yaitu ale rasa beta rasa (kamu rasa saya juga rasa) artinya sesuatu yang terjadi dalam lingkup Maluku baik itu suka-duka, miskin-kaya, susah-senang, maka itu dapat dirasakan semuanya. 

Jadi kearifan local inilah yang mampu meredam konflik bernuansa SARA di Ambon dan menyatukan kembali kerukunan dan toleransi antar umat beragama di Ambon sampai dengan saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Buchanan Cate, 2011. Pengelolaan Konflik di Indonesia–Sebuah Analisis Konflik di Maluku, Papua dan Poso, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Current Asia dan the Centre for Humanitarian Dialogue, Jakarta.
De Fretes Christian Herman Johan, Kemunculan Isu RMS Dan Pengaruhnya Dalam Konflik Ambon 1999.
Hakis, 2015, Komunikasi Antar Umat Beragama di Kota Ambon, Jurnal: Komunikasi Islam, Vol 05, No. 01
Jati Wasisto Raharjo, 2013, Kearifan Lokal Sebagai Resolusi Konflik Keagamaan, Jurnal: Walisongo, Vol. 21, No. 02.
Loulembah M. Ichsan, 2006, Maluku Dalam Catatan Seorang Peneliti-Menatap Ke Depan Agenda Pasca Konflik Dan Tugas Pemerintah Pusat, Yogyakarta.
Margawati Margaretha, 2000, Konflik antar Agama atau Politisasi Agama?, Prosiding Simposium Internasional Jurnal: Antropologi Indonesia, Makassar.
Nasmudian, 2017, Kerukunan dan Toleransi Antar Umat Beragama dalam Membangun Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Jurnal of Government and Civil Society, Vol.1, No. 1.
Pieter Jenama dan Titaley Jhon A, Hubungan Antar Agama dalam Kebinekaan Indonesia.
Sarang Richard Kristian, 2013, Dialog Antar Agama sebagai Model Penerimaan Pengakuan Keberagaman dalam Terang Pemikiran Paul F Knitter, Jurnal: Asosiasi Perguruan Tinggi Agama Kristen (APTAK). Volume 2 No. 1.
Hersepuny Neles, Sekertaris Kota Ambon, Wawancara 24 April 2021.
Sampeliling Daniel, Gembala GPSDI Efata Ambon, Wawancara 27 April 2021.
Watloly Aholiab, Ketua Pusat Studi Pancasila UNPATTI Ambon.
https://www.jawapos.com/nasional/03/07/2020/saling-toleransi-kehidupan-beragama-di-maluku-dapat-jadi-contoh/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proposal Skripsi

“TINJAUAN TEOLOGIS TERHADAP PENGAJARAN ALLAH TRITUNGGAL MENURUT ERASTUS SABDONO”

Ajaran Sesat